Tiba-tiba saja saya ingin menulis tentang hal ini, setelah menonton film dokumenter tentang Seudati yang saya pinjam di perpustakaan kampus. Seudati adalah tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh penari laki-laki, degan kekhasan gerakan dan nyanyiannya. Saya tidak akan membahas gerakan dalam post ini tapi akan lebih fokus proses kreatif dalam penciptaan nyanyian atau narasi tarinya.
Nyanyian seudati menjadi unik karena dalam suatu pertandingan Seudati (Seudati Tunang), para penyanyi (dua orang dan biasa dipanggil aneuk syahi) harus membangun narasi lagu secara spontan selayaknya perang pantun. Dalam sejarahnya dahulu pertandingan seudati bisa dilangsungkan semalam suntuk, dan sang penyanyi tak kehabisan ide untuk merangkai kata membalas pantun grup seudati lawan.
Sebelumnya saya tidak tahu bahwa asal mulanya seudati adalah seni yang sangat spontan karena pada masa sekarang, seudati jarang ditarikan dalam bentuk pertandingan. Kebanyakan hanya ditampilkan dalam bentuk pertunjukan dalam waktu yang terbatas dan mengikuti pola-pola yang telah ada. Jadi ketika mengetahui informasi ini, saya sangat kagum.
Hal yang menarik dari film dokumenter seudati yang saya tonton adalah ketika sampai pada bagian permasalahan pengembangan tarian ini. Sebagian besar syech (pemimpin tari seudati) menyatakan mereka lebih kesulitan melatih dan menemukan para penyanyi (aneuk syahi) daripada para penari seudati sendiri. Selain itu, perkembangan nyanyian seudati sangat lambat, dan jarang tercipta suatu nyanyian baru yang original, biasanya iramanya disalin dari lagu-lagu yang telah ada, lagu arab, lagu india, dsb
Padahal peran para penyanyi dan nyanyian ini sangat vital dalam tarian. Dalam analisisnya, pembuat film dokumenter ini, mencoba mencari akar permasalahannya. Ia mencoba membandingkan situasi masa lalu dan masa sekarang dan ia sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya pergeseran budaya lisan ke tulisan merupakan salah satu penyebabnya. Dahulu orang-orang tidak mengenal tulisan sehingga mereka menyimpan segala sesuatu di dalam kepalanya. Pada tarian seudati pun demikian. Para aneuk syahi mempunyai bank pantun, rangkaian kata, di dalam kepala mereka sehingga mereka dapat dengan spontan dan cepat menciptakan suatu yang baru atau merespon suatu nyanyian. Kembali ke masa sekarang, para penyanyi perlu menulis dahulu, agar tidak hilang dari kepala, sebelum menyanyikan suatu yang baru. Ada proses yang bertambah dalam budaya tulisan. Dan spontanitas perlahan menghilang.
Mendengar argumen ini, saya jadi tersadar dengan fenomena umum di zaman sekarang. Dengan segala akses buku dan teknologi yang super duper mudah, kita menjadi tergantung dengan sumber-sumber informasi ini. Bukannya menggunakan sepenuhnya kekuatan ingatan kita. Satu kisah yang dapat mengilustrasikan hal ini. Kakak kedua saya yang seorang dokter beberapa waktu lalu bercerita tentang pengalamannya di Malaysia ketika mengikuti suatu pelatihan. Ia dan beberapa temannya diminta oleh supervisor pelatihan untuk menggambarkan arah aliran darah di dalam tubuh. Bukankah hal itu hal yang sederhana dan dasar, namun ternyata mereka semua bingung. Mereka bukannya tidak tahu, mereka tahu semua konsep dasarnya, namun hingga harus menggambarkannya secara pasti menjadi hal yang lain. Hal ini terjadi karena umumnya kita sadar bahwa kita dapat selalu kembali mengakses informasi ini dengan mudah tanpa harus menyimpannya di dalam kepala. Informasi ini telah tertulis di sana, tinggal buka internet, dapatkan informasinya. Tak perlu repot-repot menghafal.
Saya rasa hal ini terjadi pada seluruh peradaban manusia sekarang. Kemudahan akses informasi telah memanjakan diri kita dalam menggunakan ingatan kita sebagai senjata utama pembelajaran. Saya jadi ingat sebuah petikan ilmuan terkenal di masa lalu " Selama ini kita hanya menggunakan 99 persen dari kemampuan otak kita, sebenarnya bila digunakan secara optimal manusia dapat menguasai beberapa buku tentang matematika."
Tak jauh jauh ternyata saya pun adalah bagian dari generasi yang terlena ini. Saya punya kebiasaan buruk merasa tenang setelah mendownload semua bahan kuliah yang belum tentu saya baca. Yang penting saya merasa yakin ia akan selalu ada di sana, saat saya membutuhkannya. Di sana, bukan di dalam kepala saya. Suatu pertanyaan menarik tentang hal ini adalah "Bagaimana bila semua perpustakaan di dunia terbakar, sistem data dunia kolaps, dan tak ada lagi sumber data yang bisa diakses?" Apakah segala tulisan dan pengetahuan yang telah dikembangkan sepanjang sejarah dunia masih bisa diselamatkan?
Sebenarnya pertanyaan ini adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang Dai Terkenal, Nouman Ali Khan ketika ia sedang membahas tentang keajaiban Al-Quran. Ia berkata bahwa ia yakin bahwa Al-Quran adalah salah satu teks yang selamat bila seluruh sistem data di dunia runtuh. Hal ini karena banyaknya orang yang belajar dan menghafal Al-Quran sepanjang sejarah dunia dimulai Sejak awal Nabi Muhammad menyampaikan pesan Al-Quran secara lisan. Walaupun secara logika akan menjadi sangat sulit untuk mempreservasi budaya lisan, namun dari perspektif lain hal ini justru membuat banyak sahabat rasul yang menghafal isi Al-Qur'an ketika ia disampaikan,
dan dengan begitu isi Al-Qur'an akan terus terjaga keasliannya. Jika
seseorang lupa atau keliru mengingatnya, maka yang lain dapat mengoreksi. Sesederhana
bila dalam sholat, imam lupa bacaan, dan makmum mengingatkan, bahkan jika
makmumnya adalah anak kecil sekalipun. Terlepas dari janji Tuhan, bahwa isi Al-Quran akan terus dijaga keasliannya sampai akhir zaman dan memang Tuhan menjanjikan kemudahan bagi siapa yang ingin belajar dan menghafalnya. Logika lengkapnya dapat dilihat
di sini
Selama ini mungkin kita mengira bahwa peradaban tulisan telah membawa kita bergerak maju mengarungi peradaban, dan itu memang benar. Namun apabila dilihat dari sudut pandang yang lain hal ini telah menciptakan pergeseran besar tentang cara kita menggunakan kemampuan diri.
Ah daripada pusing-pusing memikirkan hal ini, lebih baik kita menari seudati... Toh sekarang blognya sudah selesai ditulis.....