new drawing |
Menggambar mungkin adalah bentuk pelarian yang lain. Bentuk
lain keterlenaan dari keharusan mengisi aplikasi beasiswa itu (mengarang indah
dalam bahasa inggris). Tapi paling tidak hati ini bisa bahagia dalam pelarian
ini, produktif dan tidak hanya melewatkan hari tanpa melakukan apa-apa (Ah saya
membela diri lagi...)
Tapi agaknya saya harus bahagia, karena kembali menggambar
adalah cita-cita saya semenjak pulang magang akhir tahun lalu. Kala itu,
seperti hilang kebanggaan, sekejap saya tidak dapat menggambar lagi, walaupun
begitu ingin. Opa bilang dalam waktu yang senggang ini seharusnya lakukan sesuatu, cari kesibukan lagi,
menggambar kembali misalnya. Namun dengan yakin saya bilang, saya sejujurnya ingin,
hanya saja mood itu tidak pernah
datang lagi, dan saya juga sudah bosan menantinya. Opa berkata lagi, mood itu jangan dinanti tapi dicari.
Ingin rasanya bernyanyi ‘alamat palsu’nya ayu ting-ting ketika itu ‘
KEMANA...KEMANA...KEMANA...?’
Saya percaya dengan momentum, dan hukum pengendapan. Karena
memang setelah dalam galau yang begitu lama, saya dapat menggambar kembali
akhirnya. Kembali berbaring terlungkup di lantai, bermain dengan warna yang
banyak, kembali membuat lantai kotor dengan sisa-sisa krayon yang di tekan
sepenuh tenaga, dan kembali buat mama kesal karena hanya menggambar sepanjang
hari.
Ya momentum itu memang tak bisa diduga. Pergi tak dijemput,
dan pulang tak diantar. Datang dan pergi sesuka hatinya. Tapi bagaimanapun
harus dimanfaatkan tepat waktu, karena setelah itu bisa jadi semuanya akan
datar kembali, dan hanya sesal yang sisa.
Sementara diri kita juga butuh rentang waktu yang suka saya
sebut dengan masa ‘pengendapan’. Waktu ketika semua ide dan segala
teman-temannya hanya melayang –layang dalam pikiran, bersiap berperang dalam
alam bawah sadar dan pejam mata yang tidak tidur. Menyusun strategi tanpa
kompromi dengan pemilik tubuh, sehingga terkadang membuatnya kesal dalam
penantian. Puncaknya adalah ketika semua serpih-serpih ini mengendap tenang dan
dia siap membisikkan dalam lirih yang sayup bahwa inilah saatnya. Seperti,
daun-daun teh yang begitu ringan dalam secangkir air panas, ide melayang, dalam
adukan yang ritmik, sebelum akhirnya semua berkumpul di dasar cangkir, dan teh
siap diminum.
Kalau dipikir-pikir agaknya masih banyak daun-daun teh yang
melayang-layang di benak saya sekarang ini. Seperti daun teh aplikasi beasiswa,
daun teh desain grafis, daun teh berkebun, dan daun –daun teh lainnya. Walaupun
begitu ingin segera meminum teh-teh ini, saya harus sabar menunggu. Sabar untuk
tidak sibuk mengaduk-aduk tidak karuan yang hanya membuatnya tambah bingung
mengarah. Enggan mengendap.
NB: Mudah-mudahan ini bukan bentuk dari excuse yang lain, he...
saman |