Friday, 20 April 2012

RE-DRAWING



new drawing

Menggambar mungkin adalah bentuk pelarian yang lain. Bentuk lain keterlenaan dari keharusan mengisi aplikasi beasiswa itu (mengarang indah dalam bahasa inggris). Tapi paling tidak hati ini bisa bahagia dalam pelarian ini, produktif dan tidak hanya melewatkan hari tanpa melakukan apa-apa (Ah saya membela diri lagi...)

Tapi agaknya saya harus bahagia, karena kembali menggambar adalah cita-cita saya semenjak pulang magang akhir tahun lalu. Kala itu, seperti hilang kebanggaan, sekejap saya tidak dapat menggambar lagi, walaupun begitu ingin. Opa bilang dalam waktu yang senggang ini seharusnya  lakukan sesuatu, cari kesibukan lagi, menggambar kembali misalnya. Namun dengan yakin saya bilang, saya sejujurnya ingin, hanya saja mood itu tidak pernah datang lagi, dan saya juga sudah bosan menantinya. Opa berkata lagi, mood itu jangan dinanti tapi dicari. Ingin rasanya bernyanyi ‘alamat palsu’nya ayu ting-ting ketika itu ‘ KEMANA...KEMANA...KEMANA...?’

Saya percaya dengan momentum, dan hukum pengendapan. Karena memang setelah dalam galau yang begitu lama, saya dapat menggambar kembali akhirnya. Kembali berbaring terlungkup di lantai, bermain dengan warna yang banyak, kembali membuat lantai kotor dengan sisa-sisa krayon yang di tekan sepenuh tenaga, dan kembali buat mama kesal karena hanya menggambar sepanjang hari.

Ya momentum itu memang tak bisa diduga. Pergi tak dijemput, dan pulang tak diantar. Datang dan pergi sesuka hatinya. Tapi bagaimanapun harus dimanfaatkan tepat waktu, karena setelah itu bisa jadi semuanya akan datar kembali, dan hanya sesal yang sisa.

Sementara diri kita juga butuh rentang waktu yang suka saya sebut dengan masa ‘pengendapan’. Waktu ketika semua ide dan segala teman-temannya hanya melayang –layang dalam pikiran, bersiap berperang dalam alam bawah sadar dan pejam mata yang tidak tidur. Menyusun strategi tanpa kompromi dengan pemilik tubuh, sehingga terkadang membuatnya kesal dalam penantian. Puncaknya adalah ketika semua serpih-serpih ini mengendap tenang dan dia siap membisikkan dalam lirih yang sayup bahwa inilah saatnya. Seperti, daun-daun teh yang begitu ringan dalam secangkir air panas, ide melayang, dalam adukan yang ritmik, sebelum akhirnya semua berkumpul di dasar cangkir, dan teh siap diminum.

Kalau dipikir-pikir agaknya masih banyak daun-daun teh yang melayang-layang di benak saya sekarang ini. Seperti daun teh aplikasi beasiswa, daun teh desain grafis, daun teh berkebun, dan daun –daun teh lainnya. Walaupun begitu ingin segera meminum teh-teh ini, saya harus sabar menunggu. Sabar untuk tidak sibuk mengaduk-aduk tidak karuan yang hanya membuatnya tambah bingung mengarah. Enggan mengendap.

NB: Mudah-mudahan ini bukan bentuk dari excuse yang lain, he...
saman

Wednesday, 18 April 2012

Menggambar bersama sahabat kecil



Menjadi teman menggambar sahabat-sahabat kecil di TK YKA adalah pengalaman yang menarik selama sebulan terakhir ini. Apabila diingat-ingat lagi banyak momen lucu dan menyenangkan bersama mereka. Dari dipanggil oom sampai yang bilang mau berhenti saja karena sudah lapar. Ha...

Anak-anak ini datang dari berbagai kelas di TK YKA, berbekal sekotak krayon dan kertas gambar yang telah digaris tepi dan diberi lafadz bismillah oleh gurunya, semua anak-anak ini duduk rapi mengikuti kelas menggambar saya. Setiap minggu tema yang kami angkat berbeda, sejauh ini mereka pernah menggambar tentang teman, lautan, dan hutan.

Di kelas saya tidak ada tekanan, semua gambar adalah bagus. Kadang-kadang mereka datang ke saya hanya untuk memperlihatkan gambarnya, lalu dengan semangat saya bilang bagus, dan mereka akan kembali ke tempat duduk dengan riang untuk melanjutkan menggambar. Saya terkadang agak terusik dengan guru yang suka mengkritik gambar anak-anak. “Lho itu kok kepalanya besar sekali, atau kok ikan warna hijau”. Bagi saya menggambar adalah tentang kebebasan dan kebahagian. Dan ketika semuanya disamaratakan dengan standar orang dewasa, tidak ada yang istimewa lagi. Semua sama. Anak-anak saya pikir lebih peka pada hal-hal yang sederhana dan jujur, tak jarang saya dikejutkan oleh jawaban-jawaban mereka.

Hari ini kami menggambar anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran di depan sekolah, seorang anak hanya menggambar bangunannya saja, tanpa anak berkejaran di depannya, ketika ditanya ia berkata anak-anaknya sudah pulang semua, sekarang yang ada hanya bangunan sekolahnya saja. Yang lain menggambar anak yang banyak titik-titik di sekujur tubuhnya, ketika ditanya apa titik-titik itu ia menjawab bahwa itu adalah keringat. Karena berkejar-kejaran maka keringat bercucuran dari tubuh anak yang digambarnya. Beberapa anak laki-laki yang mengubah gambar anak berkejaran dengan anak yang bermain bola. Minggu lalu juga banyak yang berimprovisasi dengan gambarnya. Seperti ketika menggambar lautan, ada yang menggambar tentang harta karun yang diperebutkan oleh ikan-ikan, atau ketika menggambar hutan ada yang menambahkan pemburu di dalam gambarnya.
Menggambar laut
Menggambar sekolah
Show your drawing, please! 
Cheers!!

Menyenangkan sekali menggambar bersama mereka

Monday, 16 April 2012

gelagat galau

Feeling like trap
Mendengarmu buatku  ingin lelap
Memetakan rencana yang terekam dalam pejam kedip mata
Tersegera akan semangat yang terpelihara
Doa, mutiara, dan bunga-bunga yang dirangkai dalam cerah dan warna

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Sore itu kita berjalan demi jingga sinar yang segera padam
Berkelakar tentang rentang yang akan kita patahkan
Bercanda tentang pasir dan tanah yang kita jejakkan
Memahat cakap yang tersayup semilir angin
Sore itu dalam rona yang memerahkan
Jalinan sepuluh jari tercipta bagai perihal yang coba dituturpuisikan
Sederhana yang dipaksa menjadi luar biasa
Seperti dua udara yang berbeda rasa
Dan seperti kekosongan yang coba menelan nyata
Sore itu cercah mencipta bayang kita yang memanjang tak karuan
Sedang mentari mulai membakar lautan
Senyuman hanya reka seperti layaknya laras langkah kaki kita
Dan angin hembuskan helai demi helai rasa percaya
Sore itu warna tak pernah lagi jadi cerita yang dibicarakan
Bertahan dalam imaji yang tak ingin berkelana
Sore itu hanya ada kita berdua
Sementara jarak hanyalah hal yang tak pernah terduga
Sore itu kita terlelap dalam mimpi yang panjang

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kata ini akan menyelubungi segala rentan
Menyelimuti beberapa kali hingga tidak terindra
Membungkusnya hingga lapis yang tersisa
Kata ini akan menyembunyikan semua geram gulana
Akan segala sesuatu yang tak terselesaikan
Tentang gelisah yang dikerubungi oleh alasan sakit kepala
Kata ini adalah simbol ketakutan
Yang gentayangan dalam lembam yang panjang
Gelantungan dalam kesadaran yang menyakitkan
Menunggu hingga waktu yang tak pernah disahkan
Kata ini adalah bukti perjuangan di atas keputusasaan
Rangkaian alasan yang diusahakan masuk akal
Meyakinkan orang-orang dan bukannya perasaan
Beradu peran dengan diri sendiri
Mencoba menenangkan sesuatu yang diragukan
Kata ini adalah sebuah rasa mini yang dibesar-besarkan
Kasihan.....

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ 

Menghabiskan waktu pada deretan huruf yang hitam
Mencoba lupakan tinta yang begitu kentara
Hitam dan mengganggu pikiran
Aku dapat saja terbang sembari melempar sekeranjang kata
Biar berhambur seperti hujan yang kerontang
Hingga hurufnya lerai dan menggelepar pada tanah gersang
Tapi ini bukan alasan yang kuat untuk lari dari dentang
Dentang yang terus menerobos dalam logika yang keropos
Seperti huruf-huruf hitam yang terpasang keliru
Berbolak-balik tanpa mencipta suatu kata
Kata yang bermakna
Oh...aku butuh hujan kata

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Biarlah panas ini bergolak dalam udara
Biarlah terbiasa terpapar lara

Geumpa

FLEE (verb):  to leave a person or place very quickly, especially because you are afraid and possible danger.
Meusipreuk...Meuhambo...

Jalan seketika penuh sesak dengan wajah-wajah khawatir dan curiga. Segala jenis kendara tumpah ruah mengisi ruas jalan yang biasanya lengang di kota yang tak seberapa ini. Walau dalam gelisah yang massal tak ada klakson yang panjang, terburu dan sabar menjadi padu yang ganjil. Sebagian yang baik hati malah siaga di persimpangan mengurai raut kusut lalu lintas. Motor-motor dipersilakan menggunakan jalur pejalan kaki yang lengang pejalan kaki, motor-motor dibantu melintas median, semuanya dalam ikhtiar menyelamatkan diri.

Sesekali ibu-ibu yang duduk di kursi belakang motor  menyeka air mata sembari tak lepas komat-kamit berdoa. Tas ransel besar atau buntelan berharga tak lupa disandang, diselamatkan  jika sempat. Telepon genggam menjadi harapan yang kurang dapat diandalkan, namun tetap diusahakan. Nomor-nomor dicoba, siapa tahu ad sedikit ruang di udara hingga sampailah pesan atau suara ini sekedar bertanya dimana sekarang.

Anak-anak digendongan, ditenangkan dengan sentuhan yang tidak tenang dalam lari-lari yang galau. Naluri keluarga buncah oleh keinginan bersama hingga cari mencaripun menjadi pemandangan. Dalam pelarian, beberapa menangis, beberapa berdoa, beberapa tetap sibuk dengan telepon genggam, sibuk dengan gambar bergerak pekat dalam pikirannya masing-masing.

Di sudut-sudut jalan terlihat amatir atau profesional sibuk dengan alat perekam, mencoba mengabadikan panik yang tergantung di wajah, jalan, hingga pepohonan. Baju yang dipakai tak lagi penting,  pakai sendal atau tidak juga tidak penting, karena yang terpenting adalah berlomba dalam tiga puluh menit yang telah menjadi pengalaman.  

Sebagian yang berani coba tunggu di pinggir sungai, melihat apakah ada riak dan gerak air yang tak wajar sebelum berkeputusan untuk lari menyelamatkan diri. Sebagian termangu di pinggir-pinggir jalan menunggu berbuat sesuatu, menatap khawatir dalam pawai wajah-wajah takut dan harap yang bergerak cepat dan lambat. Inilah dia saat itu-saat semua diseret kembali pada kenangan pahit delapan tahun silam.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EARLY WARNING SYSTEM

Seorang bibi berkata, agaknya gempa ini ada baiknya pula. Seperti pengingat untuk kembali pada jalan yang benar. Jalan yang lurus. Bencana ini seperti Early Warning dari Tuhan akan lupa yang selalu menjadi dalih manusia. Pada hari itu, perasaan delapan tahun lalu disisipkan kembali pada setiap hati. Nuansa takut dicairkan kembali. Perasaan aman diobrak-abrik, ketidakpastian dijejalkan. Segala bangga dilunturkan, membuat hati menjadi ciut kembali, dan disadarkan bahwa manusia hanyalah manusia. Lemah.

Sebelas April lalu hanya satu perangkat Early Warning System yang meraung di kota ini, sedang lainnya tak bekerja, mungkin juga ikut panik dan melarikan diri. Lagi pula hanya segelintir orang mendengarnnya. Tapi yang pasti Sistem Peringatan Dini Tuhan lebih maha. Perasaan Takut. Rasa takut ini menjadi pacu dan picu untuk segera menyelamatkan diri, karena tersadar akan salah dan luput yang lekat, dan ingin waktu yang sedikit lebih untuk memperbaiki.

Dan mudah-mudahan Early Warning System dari Tuhan ini tidak pernah terlambat, hingga senantiasa kita dapat selalu teringat dan memelihara takut dan harap.
 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------
ALAM DAN MANUSIA

Mungkin akhirnya saya bisa percaya dengan firasat walau sebelumnya tak pernah. Sesiang itu perasaan tidak nyaman menggelayut dalam diri. Rasanya bukan karena panas cuaca. Bukan pula karena rasa. Hanya suasana menjadi berbeda. Ada ketidaknyamanan yang menggantung. Tak bisa tidur, tak bisa pula mengerjakan hal lain. Seperti ada yang salah tapi tak tahu apa, seperti ingin yakin baik-baik saja namun tak bisa. Begitulah siang sebelum gempa itu.

Ternyata keadaan ini bukanlah abstrak, sehari setelah gempa, ada liputan di telivisi tentang ciri-ciri akan gempa. Salah satunya adalah udara yang yang berubah. Fenomena ilmiah yang mungkin sulit digambarkan, namun nyata ketika dirasakan.

Karena itu pula saya teringat ujar pembicaraan dengan ibu setelah gempa. Kata beliau suasana terasa berbeda 
di saat gempa datang. Seperti lengang yang kikuk mengisi udara. Tapi sekali lagi sangat sulit digambarkan, tapi sangat jelas dirasakan.

Mungkin itu pula sebabnya salah satu ciri-ciri akan gempa lainnya, hewan-hewan menunjukkan perilaku berbeda. Di Simeulu katanya kerbau-kerbau berkumpul, atau seperti delapan tahun lalu, burung-burung terbang berkelompok. Mungkin mereka lebih peka akan berubahnya sesuatu pada udara seperti yang dikatakan para ahli di televisi itu.

Kejadian siang itu membuat saya kembali tersadar bahwa sebenarnya manusia pun adalah bagian dari orkestra alam yang tidak kepalang raya. Namun terkadang terlalu bangga, menarik diri untuk tahta yang diciptakan sendiri dan kemudian menobatkan diri menjadi menjadi raja di atasnya. Tidak lagi selaras dengan semesta, menjadi sombong.   

Walau demikian Alam tetap rendah hati. Hubungan layaknya ibu dan anak. Ada ikatan yang tak kasat mata, terjelma dalam firasat dan rasa yang ditercipta. Terkadang Ibu memberi tahu, tapi anak bebal dan berpaling acuh. Terkadang Ibu mengingatkan, tapi anak hanya berkata ‘ah’..... Begitulah anak. Manusia ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 
50/50

Apakah akan datang tsunami setelah gempa? Tak pernah ada yang dapat segera menjawab. Bahkan ahlipun butuh waktu untuk tahu. Bila telah lepas dari segala ilmu pengetahuan dan nalar maka jawabannya pun ada pada kata ‘kun’ Tuhan.
Apalagi bagi kami manusia yang resah gelisah memenuhi isi jalan ini. Tidak pernah tahu pasti apa yang terjadi. Bahkan untuk bertanya lewat teleponpun bukan perkara yang mudah. Namun yang pasti insting menyelamatkan diri adalah satu satunya ikhtiar yang bisa dilakukan sesambil berdoa pada Tuhan.
Tidak ada yang pasti....