Rumah Aceh di dekat lokasi workshop tenun |
Di ruang berdinding bata itu ada dua alat tenun,
masing-masing sedang digunakan untuk mengerjakan songket hitam yang belum rampung. Workshop
tenun ini ada di ruang belakang rumah Ibu Asmarani, begitu beliau
memperkenalkan diri. Beliau sedang mengerjakan tenun pesanan orang ketika itu. Saat ditanya
apakah ada stok yang dapat dibeli, Ibu Asmarani yang sahaja menggeleng. Beliau berkata,
kelompoknya bekerja berdasarkan pesanan. Walaupun demikian, mereka juga belum berani
menerima begitu banyak pesanan karena khawatir tidak dapat memenuhinya. Hanya
ada enam orang di desa Serba yang menenun, sedangkan satu set kain dan selendang
tenun bisa menghabiskan 15-20 hari kerja (di sela-sela pekerjaan rutin harian
mereka), tak heran, semua produksi tenun tak pernah tersisa sebagai pasokan.
Menurut saya, dari sederet tantangan pengembangan dan
pelesetarian tenun di Aceh, khusunya di Lamno ini ada satu yang paling mengkhawatirkan yaitu,
semakin sedikitnya orang-orang yang berminat menjadi pengrajinnya. Lihat saja,
bagaiman sulitnya kini mencari pengrajin tenun di Lamno, dan kalaupun ada yang
tersisa, hanya dalam kelompok-kelompok kecil yang sebagian besar Ibu-ibu paruh
baya. Saya khawatir makin sedikit generasi penerus yang melanjutkan keahlian ini.
Alasan jarangnya anak muda yang ingin menjadi penerus
mungkin bisa beragam, dari anggapan harga jual yang tak seberapa, pekerjaan
yang berat, pasar yang tak menentu, kurang kekinian, dan masih banyak lagi.
Tapi ada satu alasan menarik yang saya dengar dari percakapan di televisi
tentang beberapa alasan betapa sulitnya regenerasi pengrajin tekstil
tradisional belakangan ini. Narasumbernya berpendapat bahwa menenun dan membatik
adalah jenis pekerjaan yang spesial, pekerjaan ini butuh konsentrasi dan kesabaran
tingkat tinggi serta menghabiskan waktu yang banyak. Kemampuan ini; gigih serta
tahan berlama-lama dengan diri sendiri adalah hal yang sudah jarang dimiliki
orang-orang di dunia yang serba cepat dan menawarkan berbagai pengalih
perhatian instan seperti sekarang. Bukan hanya anak muda orang dewasa pun sangat sulit
untuk konsentrasi dalam waktu yang lama.
Ketika bekerja dalam kesendirian, para penenun berkomunikasi
dengan diri mereka sendiri, berfikir, berkontempelasi, larut dalam perbincangan
dan refleksi diri. Mungkin itu pula sebabnya hasil karya tenun dan batik tulis begitu
luhur dan menyimpan makna di baliknya, karena dalam proses
pembuatannya begitu banyak hal yang terjadi antara tenun dan penenun.
Salah satu contoh tenun yang diproduksi bermotif bungong geulima (bunga delima) |
Saya kira proses menenun ini sama halnya seperti yang saya rasakan ketika
menggambar. Biasanya yang saya rasakan adalah sebagian otak akan bekerja berkonsentrasi berkarya, namun karena terbiasa dengan teknik
dan cara menggambar, masih ada sisa ruang dalam otak saya untuk berkhayal,
melalang imaji, berkomunikasi dengan diri. Itulah saatnya saya larut dalam debat,
refleksi, pikiran sendiri. Saya kira, ini pula sebabnya terapi mewarnai untuk
orang dewasa sedang gencar-gencarnya dipromosikan di dunia. Orang dewasa yang
memiliki kecenderungan stress diberikan kesempatan untuk intim dengan dirinya
sambil mewarnai, membiarkan mereka merenung, berdiskusi, dan memperbaiki kemampuannya untuk memulihkan diri.
Menurut Sheryl Tuckle dalam bukunya Reclaiming Conversation,
ini adalah tentang kemampuan seseorang untuk mengelola
kesendirian, kemampuan untuk berdiskusi dengan diri sendiri. Kemampuan ini
tidak berkembang dengan baik akhir-akhir ini. Mungkin dalam konsep islam ini
juga bagian dari ‘Muhasabah diri’. Manusia modern tak tahan sendiri. Smartphone
telah menawarkan banyak pelarian sesaat ketika bosan dan tak tahan sendiri. Karena
kita tahu, jika kita merasa sendiri ada tempat untuk lari; media sosial, hiburan, berita dan sebagainya. Kita tidak pernah lagi dapat menikmati waktu dengan
diri sendiri. Bayangkan jika sedang menenun, penenun diganggu dengan bunyi
tanda pesan grup masuk yang sangat menggoda untuk dicek atau di tengah proses
menenun harus memilih-milih lagu di playlist. Ah repotnya…
Memang sedih melihat makin sedikit pengrajin-pengrajin tradisional
ini. Entah apa solusi terbaik agar nantinya tenun Aceh ini tak
hanya bisa kita lihat di museum-museum saja. Regenerasi menjadi sangat kritikal
agar kerajinan ini tidak punah. Paling tidak, bagi kita penikmat tenun, jika hendak membeli
karya tenun jangan ditawar lagi harganya, karena yang kita beli bukan hanya helaian
benang-benang yang ditenun menjadi kain, namun semesta filosofi, doa, cerita,
cita pembuatnya.
No comments:
Post a Comment