Sunday, 26 January 2014

Museum: Reinterpretation

Beberapa hari lalu saya mengunjungi museum lagi kali ini immigrant museum, sciencework, dan NGV kembali (karena mereka punya display baru Melbourne Now). Rasanya senang bisa jalan-jalan menelusuri museum ini. Kapan ya Indonesia punya banyak museum kerennya. Padahal kalau dipikir-pikir Indonesia punya lebih banyak yang bisa ditampilkan, dijelajahi, dikembangkan. Di NGV sendiri saya lihat satu display tentang automatic gamelan, di set dalam satu ruangan full. Senang sekaligus miris. Senang karena ini punyanya Indonesia, tapi sedih karena budaya sendiri lebih diapresiasi di luar negeri. Entahlah...

Gamelannya bisa main sendiri, pengunjung bisa milih lagu dari kertas musik yang ada di dinding. Suka sekali dengan ini
Beberapa waktu lalu ketika sedang menjelajahi brainpickings.com saya bertemu buku yang judulnya art as therapy. Saya suka dengan resume buku ini, katanya ada beberapa keuntungan dari terapi seni, bisa dilihat disini. Tapi yang lebih menarik ketika penulis bercerita tentang museum. Menurutnya ada yang salah dengan cara para kurator museum membingkai karya-karya seni di setiap galeri atau museum. Pengelompokan karya seni berdasarkan era, aliran, jenis karya dinilainya menjadi tidak relevan lagi. Manusia tidak dapat melihat merasakan sesuatu dari deretan gambar-gambar dari era yang sama, atau dari aliran yang monoton. Lebih jauh dia lebih mengandalkan kekuatan filosofi dan 'sense' dari karya-karya seni yang dikumpulkan dalam satu ruangan. Misalnya seperti ini, bayangkan dalam satu ruangan museum diset dengan tema "senang", maka dikumpulkanlah beberapa benda seni yang dapat membangkitkan perasaan bahagia pengunjung. Karya-karya ini bisa lintas era atau lintas media. Ruang "Senang" yang dimaksud juga bukan hanya sekedar senang secara literal, misalnya gambar orang-orang tertawa, menari atau patung-patung warna-warni. Tapi juga bisa diangkat lebih jauh lagi ke khazanah filosofinya. Karya apapun yang dapat membuat seseorang merasa ada sesuatu yang "membahagiakan" bisa dipamerkan sehingga ketika keluar dari galeri tersebut, pengunjung mendapat pengalaman yang berbekas, berharga. Tentu saja ini butuh keahlian khusus kurator untuk mengumpulkan semua karya ini. Lagi-lagi ini masalah mengemas, merangkai cerita yang bermakna.Tapi kemasan ini tentu saja bukan kemasan yang dibuat-buat (dikarang), karena tentu saja saya bisa mengarang-ngarang cerita yang masuk akal tentang kumpulan karya ini, namun tidak dapat ditangkap oleh pengunjung, no make sense. Cerita ini, bingkai ini harus jujur dan "complicatedly simple".

Saya ingin menciptakan museum seperti ini suatu hari nanti.
Salah satu karya di Museum NGV, what do you imagine when you look at this?
Saya suka mengintip halaman facebook teman saya yang sedang kuliah tentang permuseuman. Saya senang melihat post singkat atau link yang diberikannya tentang permuseuman, khususnya permuseuman di Indonesia. Terlalu banyak masalah memang, managerial, kompetensi, dsb. Siapa sih yang mau mengunjungi museum kalau sedang jalan-jalan ke suatu daerah di Indonesia?

Ada, tapi mungkin bisa dihitung dengan jari. Ada suatu potongan yang pembicaraan yang menurut saya lumayan penting tentang hal ini, waktu itu saya sedang bincang-bincang dengan kepala sebuah museum besar di Banda Aceh, dia bilang;

" Saya sering bilang kepada anak buah saya, mengurus museum itu bukan hanya masalah mengurus toilet dan cafenya...." Ia berkata seperti ini karena selama ini, para pengurus di museum ini hanya lebih banyak mempeributkan hal-hal kecil seperti ini, bukan program atau pengembangan museum itu sendiri. Toilet memang harus bersih, tapi siapa yang datang ke museum untuk hanya melihat toilet yang bersih atau cafe yang cukup menyediakan makanan ringan.

Mungkin kita butuh lebih banyak orang yang mengerti dan kompeten. Orang yang lebih mengerti, dan paling penting cinta dengan bidang ini. Tapi berbicara tentang hal ini memang ada anehnya. Begitu banyak seniman di Indonesia yang mencari-cari tempat untuk berpameran, begitu banyak lulusan desain yang mencari pekerjaan, tapi mengapa museum kita tetap stagnan. Mungkin yang kita butuhkan hanya hati yang baik, yang jernih, yang memiliki goodwill untuk bekerja di bidang ini. Dan kalaupun tidak bisa mengharap pada orang lain, marilah kita bergerak sendiri.

Hal lain yang perlu lebih banyak dipelajari menurut teman saya itu adalah tentang "museum interaktif". Kita tertinggal jauh dari banyak negara tentang "museum interaktif" ini. Pengalaman pasti akan lebih baik daripada hanya sekedar visual (foto-foto).

Terakhir mari lihat beberapa koleksi yang saya suka selama jalan-jalan di museum beberapa hari kemarin. Dan semoga permuseuman di Indonesia tambah maju.

"... Kita bole berimaginasi liar krn museum inklusif. Khusus museum aceh sy slalu teringat kata2 tito...budaya org aceh hilang saat mrk tak pny lg halaman rmhnya stlh tsunami. Sy memaknai dg jauh..apa bdnya dg museum sbg t4 berbudaya n sejarah, maknanya jg akn hilang saat tdk diberi ruang u publik ..."
 (teman saya, seorang pembelajar permuseuman)

Kabin di kapal para imigran, interior dalam kapal zaman dahulu, pengunjung bisa masuk ke kamar di kapal, duduk di tempat tidurnya, merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang imigran (kalaupun kita belum sanggup untuk menggunakan teknologi yang canggih)
















 Terakhir saya ingin memberikan link sebuah berita tentang museum terbesar di Aceh, what do you think? lihat di sini

1 comment:

  1. welcome back to blog tou! museum disana seru-seru ya. museum di indo pengelolaannya masih kurang oke, jadi orang2 males kesana.. sayang sekali

    ReplyDelete