Sunday, 22 February 2015

Jalan-Jalan di Gayo

“Pada musim  tertentu, di jalan yang kita lewati ini, sekawanan kupu-kupu dalam jumlah yang besar akan berlalu lalang, indah sekali ” kata seorang teman yang memandu kami berjalan-berjalan di Gayo saat kami melewati jalan berliku diantara gunung-gunung yang tinggi.


 Liburan lalu saya dan kakak menyempatkan diri berlibur ke Takengon, Aceh Tengah. Ini sebenarnya perjalanan kedua bagi Kakak, tapi pertama kalinya untuk saya. Kami beruntung ditemani oleh seorang teman kakak dalam perjalanan kami yang memang orang Gayo. Dengan pengetahuannya tentang alam dan budaya lokal, kami diajak berpetualang melihat banyak sisi lain dari Gayo. Berikut beberapa potongan cerita yang menurut saya menarik.

>>KOPI DAN FILOSOFI TENTANG HIDUP>>

Mata teman kakak itu berbinar ketika kami melintas hamparan kebun kopi yang dianggapnya cantik terawat. “Ck..ck.., cantik kali kebun kopinya". Dalam sekilas pandang mata awam seperti saya tidaklah mudah membedakan kebun yang terawat dan yang tidak. Lantai tanah kebun yang dibersihkan, percabangan yang dipangkas, baris pohon yang rapi, dan tanaman penaung yang tepat adalah beberapa kriteria kebun kopi cantik menurut teman kakak itu. 

Emas hitam tanah gayo ini memang punya harga stabil di pasar. Hanya dengan berkebun kopi orang Gayo bisa hidup berkecukupan. Tak heran begitu bersemangatnya ia melihat kebun kopi yang bagus itu. “ Mimpi saya punya kebun seperti itu” katanya “ Nanti saya akan tinggal di dekat kebun, sambil berkebun kopi, nanti saya juga bisa menanam beberapa sayuran buat makan sehari-hari.  Apalagi yang dicari dalam hidup ini.”


>>KEBUN APEL DAN BEKAS JAHITAN DI DADA>>

Kami sampai di sebuah dan mungkin satu-satunya kebun apel di tanah Gayo. Sayangnya ketika itu bukan musimnya berbuah, jadi kami tidak bisa wisata petik buah apel.

Pemiliknya adalah keluarga transmigran dari Jawa. Sebelumnya mereka memang pekebun apel di Malang. Mencoba peruntungan, mereka menjejakkan kaki di tanah gayo. Sang bapak bercerita panjang tentang perjuangannya mencoba berkebun apel di Gayo. Awalnya semua orang pesimis ia akan berhasil, Namun ia punya prinsip “ Kalau tidak menang ya kalah.” Jadi tak ada salahnya mencoba.


Walau setelah itu ternyata ia 'menang' alias kebunnya berhasil, tak banyak yang mau mencoba mengikuti jejaknya. Padahal ia telah mengajak para tetangganya untuk ikut berkebun apel bahkan ia meyakinkan bahwa tanah gayo ini lebih baik untuk tanaman apel ketimbang tanah di Malang. Untuk membuktikannya ia bahkan pernah mengirim sampel tanah kebunnya ke balai penelitian perkebunan di Jawa, dan hasilnya pun berkata demikian. Tanah Gayo memang punya kualitas yang baik untuk apel. 


Namun bukan perkara mulus ia merintis hidupnya di tanah Gayo. Bekas jahitan di dada ditunjukkannya. Peninggalan masa konflik Aceh tertera di sana. Ia sempat pulang ke tanah Jawa setelah trauma itu. Namun karena cintanya pada tanah Gayo ia kembali lagi setelah konflik reda. Penasaran kami bertanya apakah ia tidak takut kembali lagi. Dia bilang ia kukuh dengan prinsipnya “Dimana ada hidup, selalu ada makan, ada tempat.”

>>BERBURU IKAT KEPALA ERVAN CEH KUL>>

Saya suka lagu dan video Tiketa-keti Ervan Ceh Kul, seorang seniman mudah Gayo. Dalam video itu Ervan memakai ikat kepala berkerawang khas gayo yang memikat. Maka salah satu misi datang ke gayo adalah berburu ikat kepala serupa. Namun ternyata tak mudah mencarinya, bahkan di luar ekspektasi saya, tak banyak pengrajin dan toko suvenir di Takengon. Di Banda Aceh malah punya lebih banyak toko suvenir dan variasi produk. Walaupun demikian, saya memang suka produk yang orisinil, buatan orang Gayo asli, dibuat di tanah gayo pastilah punya kesan tersendiri, dan pencarianpun diperjuangkan.

youtube courtesy
Tidak ada pengrajin yang menjual ikat kepala itu. Setelah memperlihatkan ikat kepala yang dimaksud dari video, para pengrajin bilang itu ikat kepala zaman dahulu alias antik, tapi syukurnya mereka bisa menyanggupi untuk menjahitkan yang serupa. Maka saya pun memesan satu. Saya juga meminta didemokan cara mengikat kain itu di kepala agar tahu cara memakainya kelak. Sementara itu, kakak saya membeli beberapa hiasan dinding kerawang gayo yang cantik.

Penasaran dengan makna ragam hias pada kerawang Gayo, kami pun bertanya pada beberapa pengrajin di toko-toko yang kunjungi. Sayangnya tidak banyak yang tahu, terutama pengrajin-pengrajin muda. Beruntung di tempat saya memesan ikat kepala, seorang bapak paruh baya mengerti setiap maknanya dan membaginya pada kami. “ Yang segitiga itu artinya adalah gunung. Alam gayo ini memang dikelilingi oleh gunung. Lingkaran-lingkaran yang berjajar adalah masyarakat, empat lingkaran menggambarkan empat pimpinan di masyarakat gayo (kalau di aceh seperti Tuha peut) dan bentukan awan berarak ini punya makna bahwa orang gayo itu dalam melakukan sesuatu selalu bersama-sama.” Dengan khidmat, jarinya menunjuk satu persatu ragam hias pada kerawang gayo yang kami lihat. 

Bagi saya, adalah hal yang sangat magis ketika pengrajin terhubung secara emosional dengan hasil karyanya. Sesuatu yang sangat jarang di masa serba mesin, serba masal, dan serba cepat ini. Dalam hati saya berucap, tak salah saya memilih tempat untuk dibuatkan ikat kepala Ervan Ceh Kul ini.

>>BELAJAR MENARI GAYO DARI BOCAH KECIL>>

Teman perjalanan kami selama di Gayo adalah anak teman kakak saya, Namanya Raisa. Jago macam-macam dari menari hingga menghafal ayat Al-Qur’an. Darinya kami minta diajarkan tari Gayo. Dengan leluasa dan percaya diri dia mengajari kami tari guel. “ketang….ketang…ketang …keteng..ketang …tang….” bunyi musik yang ditirukan dengan mulut menjadi pedoman gerakan yang diajarkannya. Gerakan bahu yang banyak dan lentur menjadi ciri khas tari Gayo.

Dengan mudahnya ia menggerakkan bahunya, namun tak mudah bagi saya dan kakak yang tak biasa melakukannya. Kata ayahnya, teman kakak saya, sejak TK memanglah sering anak-anak di Gayo ikut pergelaran seni. Ayahnya dengan berkelakar berkata “ Itu saja kerjaan orang tua disini, antar jemput anak ke tempat rias untuk tampil dipergelaran seni, he…” Tak heran Raisa sudah hapal luar kepala gerakan-gerakannya, bahkan bukan hanya satu tari saja. Dari kecil sudah diajarkan keindahan dan mencintai budaya tanah sendiri. Ini adalah suatu aksi yang perlu diapresiasi. Tak perlulah lagi menyalahkan budaya luar karena telah menyerang budaya kita ketika kita mencintai dan menjaga budaya sendiri.


>>RUMAH KAYU, BELAJAR DARI MASA LALU>>

Pada 2013 lalu, Gayo diguncang gempa darat berkekuatan 6.2 SR. Jejak-jejak gempa masih terlihat sampai sekarang. Ketika kami melewati kawasan jalur gempa banyak masyarakat yang membangun kembali rumah mereka. Menariknya banyak orang yang menggunakan konstruksi kayu atau semi permanen. Teman kakak bilang pada  Gempa 2013 lalu, rumah kayulah yang bertahan, sementara rumah-rumah beton kebanyakan runtuh, atau paling tidak retak-retak. Rumah beton yang sebelumnya dianggap sebagai simbol kemapanan tak kuasa menghadapi kekuatan alam. Sementara konstruksi kayu dapat lebih fleksibel menghadapi  guncangan. Kini berbondong-bondonglah masyarakat kembali pada konstruksi kayu sebagai upaya pengurangan dampak bencana. Kalau orang sekarang bilang kembali kepada kearifan lokal.

kiri: Rumah kayu yang bertahan saat gempa, kanan: rumah semi permanen; kembali pada kearifan lokal
 Begitulah catatan perjalanan saya dan  kakak selama di Gayo, melihat hijaunya alam, dan warna-warni budaya keseharian yang sahaja namun indah.

Sebagai penutup saya ingin berbagi salah satu quotes teman kakak saya ketika kami menelusuri jalan berliku penuh hijau kiri dan kanan “ Mungkin ini yang buat anak-anak gayo kreatif, banyak sekali di alam sekitarnya yang bisa dilihat dan dirasakan”


Ciao