Sunday 17 January 2016

Bincang dengan Idrus bin Harun

TEMPAT//SUASANA//ALAM

Pembicaraan kami sore itu diselingi oleh suara nyaring seekor siamang. Di samping Bivak Emperom, markas Komunitas Kanot Bu yang digawangi Idrus bin Harun ini, memang terdapat penangkaran badan konservasi sumberdaya alam, tempat penampungan dan rehabilitasi hewan-hewan liar yang disita dari masyarakat. Menurutnya Idrus, suara-suara hewan itu selalu menjadi bagian keseharian di markasnya. “Siamang itu mungkin ingin ikut berbincang juga bersama kita dari balik jerujinya”, kami berkelakar. 

Sangat jarang bisa menemukan tempat-tempat seperti ini di Banda Aceh. Tempat yang menantang persepsi umum tentang keindahan, tempat yang memberikan begitu banyak stimuli dan rasa, tempat di mana suara hewan liar,ciap ayam yang berkeliaran, tanaman-tanaman yang tumbuh dan rambat di dinding-dinding, mural, kata, memberi paduan pengalaman yang aneh tapi mengasyikkan. Tempat dari segala kemungkinan, dari selfie sampai kontempelasi, dan mungkin pula itu sebabnya tempat ini menjadi lokasi yang kondusif untuk berproses dan berkreasi.


TRAUMA MASA KECIL//MENJADI GURU// CARA

Pada suatu titik pembicaraan sampailah kami pada cerita masa kecil. Ketika duduk di SD dulu dulu ia mengaku selalu merasa ketakutan jika ditunjuk tiba-tiba oleh gurunya untuk menjawab sesuatu. “Kamu!” ia menirukan perintah itu dengan telunjuk diarahkan pada saya.

Bincang bergulir tentang masa lalunya ketika matematika selalu menjadi pelajaran yang dirajakan saat guru berbicara tentang kesuksesan. Jarang ada guru seni yang mumpuni di sekolah-sekolah. Sedang seni tidak masuk dalam UAN, sehingga dianggap tak mengapa bila jam pelajaran seni dikorupsi untuk matematika. “Saya rasa itu sebabnya ketika dewasa, banyak dari kita menjadi orang yang kaku”. ungkapnya


Oleh sebab itu pulalah, setelah tsunami, ketika ia menjadi guru SD honorer di sebuah gampong nelayan Banda Aceh, ia coba untuk membalas trauma masa kecilnya dengan belajar untuk lebih cair dengan anak-anak ketika mengajar. “Kami sering belajar di luar kelas. Suatu kali kami sedang belajar tentang pengukuran. Saya ajak murid-murid menuju makam-makam kuno yang memang banyak di sekitar gampong. Mereka saya minta untuk mengukur panjang, tinggi, lebar nisan-nisan. Setelah itu, mereka diminta melaporkan hasil pengukurannya pada teman-teman lainnya. Layaknya seorang arkeolog, dengan bangga mereka mengukur untuk kemudian melaporkan. Ini adalah bentuk piknik sambil belajar. Belajar sambil piknik.


Suatu ketika yang lain, Idrus dipercaya kepala sekolahnya untuk mempersiapkan murid-murid mengikuti lomba teater. Ini adalah pertama kalinya mereka ikut lomba dan pertama kalinya Idrus melatih teater. Ia mengenang, kala itu, ada seorang anak yang bergabung dalam kelompok teaternya. Anak ini dianggap batat (nakal) di sekolahnya, bahkan ia mendengar bahwa sang anak sampai pernah dikurung di dalam lemari oleh gurunya saking dianggap batat

Namun tak disangka, ternyata ia berbakat dalam seni peran. Didaulat memerankankan tokoh raja, sang anak berhasil memukau banyak orang dengan wibawa dan bijaksana tingkah tuturnya saat berperan. Sekolah mereka menang juara dua dalam lomba itu. Seketika, anggapan seisi sekolah berubah total pada si anak tadi. Kemampuannya bermain peran telah memberi perspektif baru orang-orang di sekitarnya terhadap kemampuannya.

Bagi saya, ini adalah tentang cara dan kesadaran bahwa kita tak mungkin seragam.


 KOTA//PIKNIK//TAK LANTAS MENJADI KALAH 

Mungkin orang kita kurang piknik. Tapi banyak taman kota. Tapi tamannya berpagar dan digembok, takut ada yang mesum. Dahulu orang-orang berteriak bahwa kita butuh banyak ruang terbuka hijau. Sekarang setelah sudah banyak taman kota mau protes apa lagi.Tak relevan lagi.

Kami berbincang tentang cara kita melihat masalah di kota ini. Saya sebagai orang yang suka taman, melihat pendekatan memagar gembok taman publik adalah langkah praktis namun kurang kreatif untuk apapun alasannya. Jika takut orang-orang berbuat mesum, pasang lampu banyak-banyak, buat desain taman yang terbuka hingga semuanya mudah dipantau, jangan lantas kalah pada keadaan dan langsung ditutup aksesnya. Kasihan karena prasangka mesum, akhirnya semua orang tak bisa menikmati taman.


Idrus juga berpendapat sama dalam kasus seni rupa di Aceh. Dalam diam agaknya kita masih punya pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan seni rupa dan islam. Namun artinya tidak serta merta seni rupa itu harus jadi tumbal dan mati. Ia memberi contoh dalam seni instalasi. Di luar, mungkin perupa tak punya batasan untuk eksplorasi tema apapun (termasuk  rupa makhluk) dalam karyanya. Namun bukan berarti seni instalasi harus mati karena alasan ini. Masih banyak tema-tema lain yang bisa diangkat dengan cerdas tanpa harus mengorbankan nilai dan kepercayaan lokal. Sejurus, Idrus bilang ia punya ide untuk meletakkan koper uang raksasa di suatu ruang publik tengah kota. Orang-orang boleh selfie, boleh mikir. 

Oleh sebab itu, kami punya pakat yang sama untuk angkat topi pada setiap individu maupun kelompok yang terus berikhtiar, bergerak pantang menyerah untuk mencari akal, menjadi lebih cerdas dalam berbuat, berkreasi, dan berjuang di jalurnya masing-masing dalam menghadapi pagar-pagar dan gembok kemajuan. Tak lantas kalah.

KOMUNITAS// BIENALLE //TANTANGAN

Selanjutnya pembicaraan bergulir pada realita komunitas-komunitas yang ada di Aceh. Saya adalah seorang yang percaya dengan pendekatan kolaborasi, Idrus pun demikian. Tapi tak dapat dipungkiri memang, kenyataannya sekarang semua bekerja sendiri-sendiri. Tak hanya bidang seni, semua lini kehidupan kita kini menghadapi masalah ini. Entah karena ego atau kepentingan, tantangan kerjasama selalu pelik. Sementara itu, rasa saling percaya juga menjadi krisis yang makin lama makin parah. Ada udang di balik batu, jangan-jangan nanti udang melempar batu.

Banyak sekali tantangan jika ingin didaftar satu per satu terkait perkembangan masyarakat dan kota. Tapi menjadi tidak substansial jika masalah-masalah ini hanya dibicarakan dan hanya menjadi wacana-wacana pinggran saja. Berpasrah ada tempatnya, kali ini adalah untuk bergerak berbuat. Perang kita sekarang bukan hanya melawan ketidakdilan di luar sana, tetapi perang melawan kemalasan dan ketidakpedulian diri sediri atas usaha menjaga konsistensi kepemilikan niat-niat baik serta bebas pretensi dan usaha untuk menjadi pribadi yang lebih punya makna. Begitulah saya menyimpulkan panjang lebar pembicaraan kami.


Ke depan, belajar dari keikutsertaan Idrus dalam Jakarta Bienalle tahun lalu, Idrus bersama teman-teman lainnya ingin menggagas Kutaraja Bienalle. Menggebrak semua paradigma lama tentang berkesenian di Aceh lewat ruang-ruang kota. Usaha untuk membentang sebanyak-banyaknya tikar piknik di kota. Mengajak orang-orang keluar rumah, berinteraksi dengan alam kota dan manusianya. Karena seperti di dalam piknik, ini tak hanya soal menyantap makanan dengan dikelilingi suasana yang berbeda, tetapi juga juga tentang saat-saat berharga ketika keluarga saling bicara dan berbagi cinta.


Note: Tulisan ini adalah catatan kecil dari percakapan dengan seorang seniman Aceh. Idrus bin Harun. Kini ia tergabung dalam komunitas kanot bu yang bermarkas di jalan Cut Nyak Dhien, Lamteumen. Sp. Dodik. Blognya dapat dilihat di http://idrusbinharun.blogspot.co.id/ sementara
karyanya dapat dilihat di halaman facebook idrus bin harun atau komunitas kanot bu.

Friday 8 January 2016

JOURNEY TO TAPAKTUAN (PHOTO JOURNAL)

Beberapa waktu lalu saya dan keluarga berkunjung ke Tapaktuan. Dalam perjalanan dari Banda Aceh saya dan keluarga mengunjugi beberapa tempat menarik. Tempat-tempat ini bercerita tentang alam dan budaya lokal.

MENCARI TENUN DI LAMNO
Seorang pengrajin tenun di Lamno
Ibu-Ibu sedang membuat topi bersawah (Lamno)
Rumah Aceh di Lamno
Buah jeruk bali yang dibungkus dengan bahan alam, di halaman rumah (Lamno)
MENGUNJUNGI PENGRAJIN KASAB DI DESA SAMADUA, TAPAKTUAN
Pengrajin kasab  di desa Samadua dekat Tapaktuan
Ayu-ayu berbentuk burung digunakan sebagai penghias pelaminan
Kasab yang sering dipesan oleh para petinggi, melambangkan kekuasaan
Kini pengrajin lebih sering menggunakan benang gim, benangemas asli (yang lebih tipis) kini sudah sulit ditemukan di pasar
Kerja yang tekun dan teliti, menghasilkan karya yang indah
MELIHAT GERABAH DI DESA GUNUNG CUT, TAPAK TUAN
Bermacam gerabah yang dihasilkan oleh pengrajin
hasil produksi kelompok pengrajin ini
Dengan bekal pelatihan di Yogya, kini pengrajin memadukan kaca warna pada karyanya
Ini digunakan untuk memasak (memurnikan) emas. Konsumennya penambang emas tradisional di Sawang

Geulayang aceh di dinding rumah pengrajin gerabah
TAPAK RAKSASA SI TUAN TAPA
pemandangan dari objek wisata tuan tapa
Situs Tuan Tapa, berupa cetakan tapak kaki yang melegenda

MENIKMATI SUNRISE DI TAMAN KOTA TAPAK TUAN

Taman Pinggir Pantai Tapak tuan
Menikmati matahri terbit dari pinggir taman
Pemandangan ke arah laut dari piggir taman
Bunga matahari menghiasi sudut taman.
PANTAI-PANTAI TAPAK TUAN

Jejak kepiting kecil membentuk pola yang menarik

PEMANDIAN  PUTRI NAGA YANG MENYEJUKKAN
Mata air di bawah batu yang menjadi sumber air
Bapak ini sedang memetik nangka dengan galah, ada kenduri katanya, mau masak gulai nangka
RUMAH DUA TINGKAT TAPAK TUAN
Bangunan kayu dua tingkat yang menjadi khas tapaktuan
Harus dipreservasi. Mudah-mudahan tidak diubah jadi bangunan batu seperti di mana-mana
KAPAN KITA JALAN-JALAN LAGI?

Wednesday 6 January 2016

Dari Tenun ke Kesadaran Diri

Dalam perjalanan menuju Tapak Tuan akhir tahun lalu, saya dan keluarga menyempatkan diri untuk berhenti di Lamno untuk berburu tenun Lamno. Perihal berita bahwa Lamno adalah salah satu penghasil tenun Aceh memang sudah lama saya dengar, namun perkara mencari pengrajinnya di Lamno, apalagi sekarang, adalah hal yang tidak mudah. Bahkan kebanyakan orang Lamno sendiri tidak tahu bahwa masih ada tersisa pengrajin tenun di Kotanya. “Dulu memang banyak, tapi sekarang sudah tidak ada” jawab seorang Bapak ketika kami bertanya di salah satu pom bensin lamno. Namun perjuangan tak hanya sampai di situ, kami melanjutkan perburuan ke Pasar Lamno, dan terus bertanya sampai seseorang dari toko tekstil sudut pasar Lamno memberi tahu bahwa ada satu kelompok pengrajin yang tersisa di kampung Serba. Tak menunggu lama kamipun meluncur ke sana.

Rumah Aceh di dekat lokasi workshop tenun
Di ruang berdinding bata itu ada dua alat tenun, masing-masing sedang digunakan untuk mengerjakan songket hitam yang belum rampung. Workshop tenun ini ada di ruang belakang rumah Ibu Asmarani, begitu beliau memperkenalkan diri. Beliau sedang mengerjakan tenun pesanan orang ketika itu. Saat ditanya apakah ada stok yang dapat dibeli, Ibu Asmarani yang sahaja menggeleng. Beliau berkata, kelompoknya bekerja berdasarkan pesanan. Walaupun demikian, mereka juga belum berani menerima begitu banyak pesanan karena khawatir tidak dapat memenuhinya. Hanya ada enam orang di desa Serba yang menenun, sedangkan satu set kain dan selendang tenun bisa menghabiskan 15-20 hari kerja (di sela-sela pekerjaan rutin harian mereka), tak heran, semua produksi tenun tak pernah tersisa sebagai pasokan.

Menurut saya, dari sederet tantangan pengembangan dan pelesetarian tenun di Aceh, khusunya di Lamno ini ada satu yang paling mengkhawatirkan yaitu, semakin sedikitnya orang-orang yang berminat menjadi pengrajinnya. Lihat saja, bagaiman sulitnya kini mencari pengrajin tenun di Lamno, dan kalaupun ada yang tersisa, hanya dalam kelompok-kelompok kecil yang sebagian besar Ibu-ibu paruh baya. Saya khawatir makin sedikit generasi penerus yang melanjutkan keahlian ini.



Alasan jarangnya anak muda yang ingin menjadi penerus mungkin bisa beragam, dari anggapan harga jual yang tak seberapa, pekerjaan yang berat, pasar yang tak menentu, kurang kekinian, dan masih banyak lagi. Tapi ada satu alasan menarik yang saya dengar dari percakapan di televisi tentang beberapa alasan betapa sulitnya regenerasi pengrajin tekstil tradisional belakangan ini. Narasumbernya berpendapat bahwa menenun dan membatik adalah jenis pekerjaan yang spesial, pekerjaan ini butuh konsentrasi dan kesabaran tingkat tinggi serta menghabiskan waktu yang banyak. Kemampuan ini; gigih serta tahan berlama-lama dengan diri sendiri adalah hal yang sudah jarang dimiliki orang-orang di dunia yang serba cepat dan menawarkan berbagai pengalih perhatian instan seperti sekarang. Bukan hanya anak muda orang dewasa pun sangat sulit untuk konsentrasi dalam waktu yang lama.

Ketika bekerja dalam kesendirian, para penenun berkomunikasi dengan diri mereka sendiri, berfikir, berkontempelasi, larut dalam perbincangan dan refleksi diri. Mungkin itu pula sebabnya hasil karya tenun dan batik tulis begitu luhur dan menyimpan makna di baliknya, karena dalam proses pembuatannya begitu banyak hal yang terjadi antara tenun dan penenun.

Salah satu contoh tenun yang diproduksi bermotif bungong geulima (bunga delima)
Saya kira proses menenun ini sama halnya seperti yang saya rasakan ketika menggambar. Biasanya yang saya rasakan adalah sebagian otak akan bekerja berkonsentrasi berkarya, namun karena terbiasa dengan teknik dan cara menggambar, masih ada sisa ruang dalam otak saya untuk berkhayal, melalang imaji, berkomunikasi dengan diri. Itulah saatnya saya larut dalam debat, refleksi, pikiran sendiri. Saya kira, ini pula sebabnya terapi mewarnai untuk orang dewasa sedang gencar-gencarnya dipromosikan di dunia. Orang dewasa yang memiliki kecenderungan stress diberikan kesempatan untuk intim dengan dirinya sambil mewarnai, membiarkan mereka merenung, berdiskusi, dan memperbaiki kemampuannya untuk memulihkan diri.

Menurut Sheryl Tuckle dalam bukunya Reclaiming Conversation, ini adalah tentang kemampuan seseorang untuk mengelola kesendirian, kemampuan untuk berdiskusi dengan diri sendiri. Kemampuan ini tidak berkembang dengan baik akhir-akhir ini. Mungkin dalam konsep islam ini juga bagian dari ‘Muhasabah diri’. Manusia modern tak tahan sendiri. Smartphone telah menawarkan banyak pelarian sesaat ketika bosan dan tak tahan sendiri. Karena kita tahu, jika kita merasa sendiri ada tempat untuk lari; media sosial, hiburan, berita dan sebagainya. Kita tidak pernah lagi dapat menikmati waktu dengan diri sendiri. Bayangkan jika sedang menenun, penenun diganggu dengan bunyi tanda pesan grup masuk yang sangat menggoda untuk dicek atau di tengah proses menenun harus memilih-milih lagu di playlist. Ah repotnya… 


Memang sedih melihat makin sedikit pengrajin-pengrajin tradisional ini. Entah apa solusi terbaik agar nantinya tenun Aceh ini tak hanya bisa kita lihat di museum-museum saja. Regenerasi menjadi sangat kritikal agar kerajinan ini tidak punah. Paling tidak, bagi kita penikmat tenun, jika hendak membeli karya tenun jangan ditawar lagi harganya, karena yang kita beli bukan hanya helaian benang-benang yang ditenun menjadi kain, namun semesta filosofi, doa, cerita, cita pembuatnya. 

Monday 4 January 2016

JALAN AKHIR TAHUN: Teman_Taman_Buku_Urban_Awal

TEMAN
Bertemu teman-teman, mengingat kembali kisah-kisah yang pernah dibagi bersama. Bertemu seorang atau segerombolan. Membahas kerja, jodoh, atau berita terkini tentang orang-orang sekitar. Gosip-gosip dipertukarkan dan terkadang berkilah menyebar fakta untuk menyembunyikan tabu dan dosa ghibah. Ah. Terkadang begitu jujur dan nyaman, namun terkadang pula begitu kikuk dan canggung. Waktu telah merubah kita. Terkadang ekspektasi percakapan tak seperti yang diharapkan. Namun terkadang pula begitu mengalir, begitu nyaman bertukar cerita, mengeluarkan segala rasa yang selama ini tersimpan dalam laci-laci pikiran, menunggu untuk dibagikan pada orang-orang yang tepat. Teman. Terkadang adu pendapat yang santun terjadi, sekedar untuk saling menantang sudut pandang atau berbagi pemikiran yang berbeda. Kadang di café, kadang di taman. Kadang tertawa dan kadang mendengar penuh serius. Teman kapan-kapan kita bertemu lagi.
Teman-teman baru datang dan pergi, teman lama tetap di hati (Arisan 2)
TAMAN
Tempat-tempat teduh yang dikunjungi di tengah panas dan debu kota. Taman kota, taman kecil, kebun raya, pinggir situ, dan kampung budaya. Tempat mencari sejuk sambil menyaksikan orang-orang berselfie ria, beryoga, berpiknik dan menyewa tikar, pacaran, main sepeda, atau hanya duduk di sudut taman memperhatikan orang-orang yang lewat. Taman yang nyaman untuk tiduran di rumput yang dipangkas rapi, tanpa perlu terusik peringatan ‘dilarang menginjak rumput’. taman tempat anak-anak bermain menyiduk air dari kolamnya yang berbunga teratai. Taman yang tidak punya parkir mobil, hanya parkir motor. Anak-anak bergembira di sudut taman bermain yang berlantai pasir, persis seperti di luar negeri. Taman yang memanjakan mata dengan hijaunya yang segar. Kita butuh lebih banyak taman-taman seperti ini. Terimakasih bagi siapapun yang terlibat dalam pembuatan taman ini. Begitu menyenangkan berada di tengahnya.





Atau taman-taman yang lebih besar, seperti kebun raya. Daun-daun yang beraneka macam. Jalan setapak yang membawa entah kemana, dan pohon-pohon tinggi yang berdiri bijaksana menceritakan dalam hening kisah umurnya yang panjang.




Atau pula kampung budaya, tempat orang-orang setia membagi kebahagian lewat gambang orkestra tradisional. Rebab memainkan lagu sirih kuning. Penari-penari cilik bersiap untuk tampil, khawatir namun tetap harus senyum. Di tepinya ada danau buatan yang luas serta pohon-pohon peneduh. Dari sudut danau, orang-orang mengganti pemandangan sehari-hari mereka dari beton ke muka air yang luas. Duduk di bawah pohon, menikmati pecak atau kerak telor sambil menenangkan diri menikmati alam dan budaya. Butuh sesaat untuk lari dari jenuhnya abu-abu jalan dan ruang yang membosankan. Butuh hijau, butuh udara segar, butuh keindahan, mari ke mari manusia. Kembali jadi bagian alam dan budaya yang gilang.




BUKU
Tentang buku-buku indah yang berada dalam gang yang sempit. Lelaki itu selalu ramah pada setiap yang datang memilih buku-buku pilihannya. Ada buku usia berpuluh tahun, atau bahkan lebih dari seabad lebih. Seorang paruh baya yang dipertemukan di barisan-barisan rak-rak buku itu bahkan berkata ia rela berkendara jauh untuk dapat berkencan dan meminang buku-buku indah itu. Sang pemilik kedai, sebagai ayah sang buku hanya tersipu malu. Ah rak-rak buku itu begitu menggoda. Bukan hanya karena buku-buku terpilih yang memanggil-manggil untuk dibawa pulang, namun juga kemurahan hati pemiliknya yang begitu rendah-hati dalam memberikan harga. Ia berpendapat, seperti manusia, buku juga punya jodohnya masing-masing. Nanti kalau balik ke kota pinggir Jakarta itu, aku akan datang lagi. Meminang buku-buku indahmu. 


URBAN
Kongkow-kongkow cantik dan ganteng di cafe atap berpemandangan indah. Posting foto-foto bersama di hadapan makanan bernama asing. Lirik-lirik sekeliling mencari kandidat lokasi foto selfie kekinian. Hi..hi..coba-coba ikut gaya hidup teman-teman di kota ternyata menarik juga. Membahas apa saja ketika makan yang harus pelan-pelan, supaya bisa berlama-lama di sana. Membahas hal terkini, dari gojek, uber, sampai grabtaxi. Kalau di tempat saya hanya ada beritanya di tivi-tivi, maka ketika ditawarkan mencoba ojek online di waktu pulang oleh teman saya, saya bilang ok. Membuka aplikasi dengan cekatan ia menekan tombol-tombol, dan menelfon. Hanya limabelas ribu katanya dan tak usah repot-repot lagi ganti angkot. Mudahkan. Ah..Sejenak saya mencicipi rasa kota ini.
Atau sekali-kali bolehlah kita putar-putar di mall, melihat apa yang orang-orang jajakan atau sekedar mencari dinginnya ac, berlindung dari sengatan mentari terik di luar sana. Beli atau tidak beli, makan atau tidak makan, kemana lagi bisa pergi? Atau kalau penat mungkin bisa kita bermain suara ria di ruang-ruang karaoke bersama teman-teman. Pilih lagu masing-masing, mengantre giliran menyanyi, dan sekali-sekali mengecek hp saat menunggu giliran. Kalau bicara harus kencang-kencang karena harus bersaing dengan suara gempita musik yang menggebu-gebu. Tepat bila ingin jejeritan membuang penat, tidak ada juri yang berkomentar, hanya teman yang tertawa kencang. Ha..ha.. Begitu urban hidup kita.  


AWAL
Pulang jelajah kota setelah semua urusan selesai memberi nuansa yang lain. Apalagi akhir tahun. Melihat banyak hal di kota yang menyuguhkan segala sudut pandang mudah-mudahan memberi semangat yang baru ketika pulang. Mendengar kisah, keluh, dan syukur teman-teman, terpapar taman dan kehidupan urban membawa gairah baru memulai tahun yang muda. Semoga gelora ini akan terus terbawa hingga selamanya. Harus tetap tegar dan semangat. Bismillah.. 

Selalu Ada Jalan