Wednesday 6 January 2016

Dari Tenun ke Kesadaran Diri

Dalam perjalanan menuju Tapak Tuan akhir tahun lalu, saya dan keluarga menyempatkan diri untuk berhenti di Lamno untuk berburu tenun Lamno. Perihal berita bahwa Lamno adalah salah satu penghasil tenun Aceh memang sudah lama saya dengar, namun perkara mencari pengrajinnya di Lamno, apalagi sekarang, adalah hal yang tidak mudah. Bahkan kebanyakan orang Lamno sendiri tidak tahu bahwa masih ada tersisa pengrajin tenun di Kotanya. “Dulu memang banyak, tapi sekarang sudah tidak ada” jawab seorang Bapak ketika kami bertanya di salah satu pom bensin lamno. Namun perjuangan tak hanya sampai di situ, kami melanjutkan perburuan ke Pasar Lamno, dan terus bertanya sampai seseorang dari toko tekstil sudut pasar Lamno memberi tahu bahwa ada satu kelompok pengrajin yang tersisa di kampung Serba. Tak menunggu lama kamipun meluncur ke sana.

Rumah Aceh di dekat lokasi workshop tenun
Di ruang berdinding bata itu ada dua alat tenun, masing-masing sedang digunakan untuk mengerjakan songket hitam yang belum rampung. Workshop tenun ini ada di ruang belakang rumah Ibu Asmarani, begitu beliau memperkenalkan diri. Beliau sedang mengerjakan tenun pesanan orang ketika itu. Saat ditanya apakah ada stok yang dapat dibeli, Ibu Asmarani yang sahaja menggeleng. Beliau berkata, kelompoknya bekerja berdasarkan pesanan. Walaupun demikian, mereka juga belum berani menerima begitu banyak pesanan karena khawatir tidak dapat memenuhinya. Hanya ada enam orang di desa Serba yang menenun, sedangkan satu set kain dan selendang tenun bisa menghabiskan 15-20 hari kerja (di sela-sela pekerjaan rutin harian mereka), tak heran, semua produksi tenun tak pernah tersisa sebagai pasokan.

Menurut saya, dari sederet tantangan pengembangan dan pelesetarian tenun di Aceh, khusunya di Lamno ini ada satu yang paling mengkhawatirkan yaitu, semakin sedikitnya orang-orang yang berminat menjadi pengrajinnya. Lihat saja, bagaiman sulitnya kini mencari pengrajin tenun di Lamno, dan kalaupun ada yang tersisa, hanya dalam kelompok-kelompok kecil yang sebagian besar Ibu-ibu paruh baya. Saya khawatir makin sedikit generasi penerus yang melanjutkan keahlian ini.



Alasan jarangnya anak muda yang ingin menjadi penerus mungkin bisa beragam, dari anggapan harga jual yang tak seberapa, pekerjaan yang berat, pasar yang tak menentu, kurang kekinian, dan masih banyak lagi. Tapi ada satu alasan menarik yang saya dengar dari percakapan di televisi tentang beberapa alasan betapa sulitnya regenerasi pengrajin tekstil tradisional belakangan ini. Narasumbernya berpendapat bahwa menenun dan membatik adalah jenis pekerjaan yang spesial, pekerjaan ini butuh konsentrasi dan kesabaran tingkat tinggi serta menghabiskan waktu yang banyak. Kemampuan ini; gigih serta tahan berlama-lama dengan diri sendiri adalah hal yang sudah jarang dimiliki orang-orang di dunia yang serba cepat dan menawarkan berbagai pengalih perhatian instan seperti sekarang. Bukan hanya anak muda orang dewasa pun sangat sulit untuk konsentrasi dalam waktu yang lama.

Ketika bekerja dalam kesendirian, para penenun berkomunikasi dengan diri mereka sendiri, berfikir, berkontempelasi, larut dalam perbincangan dan refleksi diri. Mungkin itu pula sebabnya hasil karya tenun dan batik tulis begitu luhur dan menyimpan makna di baliknya, karena dalam proses pembuatannya begitu banyak hal yang terjadi antara tenun dan penenun.

Salah satu contoh tenun yang diproduksi bermotif bungong geulima (bunga delima)
Saya kira proses menenun ini sama halnya seperti yang saya rasakan ketika menggambar. Biasanya yang saya rasakan adalah sebagian otak akan bekerja berkonsentrasi berkarya, namun karena terbiasa dengan teknik dan cara menggambar, masih ada sisa ruang dalam otak saya untuk berkhayal, melalang imaji, berkomunikasi dengan diri. Itulah saatnya saya larut dalam debat, refleksi, pikiran sendiri. Saya kira, ini pula sebabnya terapi mewarnai untuk orang dewasa sedang gencar-gencarnya dipromosikan di dunia. Orang dewasa yang memiliki kecenderungan stress diberikan kesempatan untuk intim dengan dirinya sambil mewarnai, membiarkan mereka merenung, berdiskusi, dan memperbaiki kemampuannya untuk memulihkan diri.

Menurut Sheryl Tuckle dalam bukunya Reclaiming Conversation, ini adalah tentang kemampuan seseorang untuk mengelola kesendirian, kemampuan untuk berdiskusi dengan diri sendiri. Kemampuan ini tidak berkembang dengan baik akhir-akhir ini. Mungkin dalam konsep islam ini juga bagian dari ‘Muhasabah diri’. Manusia modern tak tahan sendiri. Smartphone telah menawarkan banyak pelarian sesaat ketika bosan dan tak tahan sendiri. Karena kita tahu, jika kita merasa sendiri ada tempat untuk lari; media sosial, hiburan, berita dan sebagainya. Kita tidak pernah lagi dapat menikmati waktu dengan diri sendiri. Bayangkan jika sedang menenun, penenun diganggu dengan bunyi tanda pesan grup masuk yang sangat menggoda untuk dicek atau di tengah proses menenun harus memilih-milih lagu di playlist. Ah repotnya… 


Memang sedih melihat makin sedikit pengrajin-pengrajin tradisional ini. Entah apa solusi terbaik agar nantinya tenun Aceh ini tak hanya bisa kita lihat di museum-museum saja. Regenerasi menjadi sangat kritikal agar kerajinan ini tidak punah. Paling tidak, bagi kita penikmat tenun, jika hendak membeli karya tenun jangan ditawar lagi harganya, karena yang kita beli bukan hanya helaian benang-benang yang ditenun menjadi kain, namun semesta filosofi, doa, cerita, cita pembuatnya. 

No comments:

Post a Comment