Sunday 27 November 2011

Bye.. Bye...Friend..

Ini adalah salah satu proyek saya sebelum pulang ke Indo, membuat kenang-kenangan untuk teman-teman di sesama intern. 8 Bulan terlewati dan hampir saatnya utuk say good bye... Mudah2an ini bisa jadi kenangan untuk kami berempat....



Refleksi Belajar Mengambar: Trying acrylic...

Dulu saya selalu bingung dengan perbedaan menggambar dan melukis. Bahkan sampai sekarangpun saya  tidak yakin dengan definisi yang saya pahami tentang keduanya. Sejauh ini yang saya tahu, menggambar itu di atas kertas, dengan teknik tanpa kuas. Sedangkan melukis itu di atas kanvas dengan teknis menggunakan kuas, yang artinya memakai cat minyak, acrylic, dsb. Tapi, kalau dipikir-pikir ada juga ya, lukisan cat air yang dibuat di atas kertas, ah entahlah... 

Saya adalah pengguna crayon (oil pastel) sejati, yang apabila dikelompokkan sesuai kategori di atas menjadi penggambar, bukan pelukis. Kecintaan saya pada crayon, dimulai sejak masih duduk di bangku TK. kalau ayah saya pulang dari luar kota, pasti oleh-oleh yang diminta adalah crayon. Crayon merk Korea, karena pada zaman itu memang lagi beken-bekennya dan tidak dijual di kota saya. Dengan crayon saya ikuti berbagai lomba gambar. Dan dengan crayon pula suasana hati saya bisa tergambar dengan jelasnya. Menurut cerita keluarga, yang selalu setia menemani kala saya mengikuti lomba, kalau sedang marah, kesal, bad mood, pasti gambar saya didominasi warna merah, hitam, oranye, pokoknya kombinasinya panas sekali. Tapi kalau sedang senang berbunga-bunga warna-warna yang biasa saya gunakan lebih syahdu dan padan. Bahkan sampai sekarang pun crayon tanpa saya sadari tetap jadi cerminan suasana hati saya..

Waktu kecil saya pernah ikut sanggar melukis/menggambar. Saya punya guru lukis, namanya Pak Suharno. Mungkin kira-kira 10 tahun lebih saya belajar menggambar dengan Pak Arno ini. Saya berguru dengannya dari yang muridnya puluhan sampai muridnya hanya saya seorang (Beberapa tahun sempat berhenti karena Pak Arno harus exodus keluar Aceh karena konflik yang tak kunjung padam). Saya ingat nama sanggar saya dulu 12 nuansa, namanya bagus kalau diingat. Pertama-tama sanggar ini bertempat di Geunta Plaza, depan masjid Baiturrahman, kemudian pindah ke Taman Budaya. Seiring kondisi aceh yang makin tidak aman, sanggar ini ditutup karena memang kebanyakan gurunya non-Aceh sehingga terpaksa keluar dari Aceh. Lalu , selang satu dua tahun Bapak ini balik lagi ke Aceh, dan buka studio di jalan menuju Mata Ie. Saya kursus lagi di sana, walau muridnya hanya saya seorang. Terakhir saya belajar menggunakan kanvas dan cat minyak, dan tragedi itupun terjadi....

Dasar masih kecil dan labil, pulang-pulang dari les saya menangis, tante saya yang menjemput dari les bingung apa gerangan yang terjadi. Lalu saya bercerita kalau si Pak Arno menambahkan warna hijau pada lukisan saya tanpa seizin saya, dan membuat lukisan itu jadi kacau. Tragedi itu spontan membuat saya berhenti les, dan mengubah mood saya untuk belajar melukis (dengan kanvas dan kuas). Sampai akhirnya guru lukis saya ini pindah beneran dari Aceh, saya tidak les lagi dengannya...

Tahun berlalu, dan saya sudah duduk di bangku SMA. Suatu ketika saya dapati lagi lukisan yang menuai tragedi itu teronggok di garasi rumah kami. Saya pandangi lagi lukisan itu, dan setelah lama memerhatikan  baru saya sadar ternyata warna hijau yang ditambahkan si Bapak membuat lukisannya tambah "hidup". Dan dari titik itulah saya menyesal berhenti les melukis. Kalau diingat-ingat lagi, ego saya waktu kecil ternyata besar sekali.. Pak maafkan muridmu yang dodol ini...he..

Oleh karena itu sampai sekarangpun saya masih akrab dengan crayon. sudah terlalu nyaman kalau harus berpaling ke cat minyak dan kanvas. Namun, sempat pada satu titik saya ingin orang melihat gambar crayon saya sebagai lukisan. Karena dalam definisi pribadi saya yang lain dan lebih rumit, gambar dan lukisan itu dibedakan dari 'feel'nya, bukan material yang digunakan. Namun tetap saja orang bilang yang saya lakukan adalah menggambar. Sekarang saya tidak peduli lagi dengan dua definisi itu, bagi saya menggambar dan melukis sama saja, karena kegiatan ini adalah rekreasi pribadi saya,dan tidak terlalu pentinglah kategori gambar atau lukisan dari orang lain itu.

Beberapa waktu lalu Pete salah satu bos di OWG meminjamkan saya satu set cat acrylic lengkap dengan kuas dan kanvasnya, ketika dia tahu saya suka menggambar. Bagi saya ini menjadi pengalaman yang baru setelah bertahun berkutat dengan crayon dan trauma 'cat minyak' he... Namun ternyata setelah dicoba tidak sesulit yang saya bayangkan. Saya sangat menikmati melukis dengan kanvas dan kuas ini. Walau saya tahu cat acrylic memang relatif lebih mudah dibandingkan dengan cat minyak (terutama masalah kesabaran menunggu kering catnya). Namun yang pasti latihan ini membuat saya bersemangat lagi untuk mencoba melukis dengan cat minyak... Ternyata melukis dengan kuas tak sesulit yang saya bayangkan, walaupun saya belajar amatiran sekarang.. 

Setelah ini saya ingin belajar cat minyak lagi.. dan mudah-mudahan saya bisa senyaman menggabar/ melukis dengan crayon. Dan terakhir.. saya ingin mengucapkan banyak terimakasih dan minta maaf pada Pak Arno, guru menggambar/melukis saya dulu. Walaupun agak menyesal karena terhambat dan terlambat belajar  memegang kuas, tapi saya yakin semuanya adalah proses..

Ciao check my drawing/painting..


Fall

Fall in the Garden
Birunya langit dan pohon tak berdaun selalu menjadi objek yang menarik untuk diabadikan...
Here it is....








Friday 25 November 2011

Black Friday: We Called it "America Experiences"

Siapa yan bersedia mengantri berjam-jam untuk kemudian saling berebutan barang. Ha.. itulah dia black friday.

Awalnya saya tidak mau ikut teman-temansaya untuk gila-gilaan ini, tapi setelah disemangati kakak saya, bermotivasikan merasakan pengalaman yang mungkin tidak terulang ini, saya pergi juga.  Ide utamanya adalah melihat kegilaannya bukan belanjanya. Petualangan dimulai dengan memesan taksi tengah malam. Ternyata taksi yang terbatas jumlahnya ini lama sekali datangnya sementara kami harus berdiri menunggu dalam dingin di depan gerbang OWG. It's really America Experience,ha....

Selanjutnya ketika taksi kami datang, berangkatlah kami walaupun sudah terlambat satu jam dari tengah malam, sampai-sampai salah satu teman intern saya khawatir kehabisan barang yang ia inginkan. Sampai ke tempat perbelanjaan dimulailah petualangannya. Well, ramai orang-orang di sana, tapi tidak sampai buat mereka saling tarik-tarikan baju atau lebih parah jambak-jambakan seperti yang saya bayangkan. Atau mungkin di NYC yang seperti itu, bukan di suburb Long Island ini. Entahlah. Dan seperti yang memang saya prediksi, discountnya tidak terlalu besar besaran dan totally di luar budget saya. Ya iyalah mana ada toko yang mau rugi. maka saya lihat-lihat saja..(di toko pertama)

Kata kakak saya, "jangan kalap" karena sebenarnya dia tahu pada dasarnya saya juga suka belanja he,,, hanya saja dengan pertimbangan penghematan saya masih bisa menahan diri. Di toko kedua, yang merupakan toko clothing, saya harus ngantri untuk masuk (daya dukung gitu), dan di situ salenya setengah harga sehingga orang gila-gilaan belanjannya. Bahkan antrian kasirnya mengular. Saya beli satu dua barang di sini, dan kebetulan teman saya sudah mengantri di kasir, jadi saya titip saja di dia baju yang ingin saya beli, tak perlu mengantri, he,,,,, dan akhirnya berakhirlah perburuan black friday saya. Sebenarnya hanya sekedar ingin merasakan sensasinya. Tidak tidur hanya untuk belanja, he,,,,
ngantri......

Gift Shop

"DI SINI DI AMERIKA, BAHKAN BATUPUN BISA DIJUAL JADI SUVENIR"

Beberapa waktu lalu saya dan Ale bekerja membantu Paul dan Maura untuk mengatur koleksi terbaru gift shop di OWG. Barang-barang yang dijual di sini dibagi berdasarkan beberapa tema. Garden, Bird, Flower, dan Vintage. Tema-tema ini menyesuaikan dengan kenyataan OWG adalah historical garden.

Selain stuff khusus bertema Old Westbury Garden, semua barang-barang yang dijual merupakan hasil perburuan katalog yang kemudian dipesan online. Jadi tidak melulu semuanya adalah barang yang diproduksi khusus. Kalau memang pintar memilah-milih, koleksi yang dijualpun bisa sangat menarik dan sesuai dengan tema. Satu lagi yang penting harga juga menjadi pertimbangan, sedapat mungkin terjangkau.

Sistem kelola giftshop ini memang diterapkan di semua atraksi wisata di Amerika, di museum-museum, di area wisata alam,dsb. Di sini semua barang-barang memang tersedia, dari barang-barang yang sepele tidak penting sampai barang-barang yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, semuanya ada (walaupun kebanyakan memang made ini china)he...

Sementara itu, penawaran dan permintaan juga seimbang. Artinya keinginan orang untuk membeli barang-barang memang tinggi, sehingga bisnis giftshop ini  bisa terus jalan. Kalau di Indonesia secara umum, siapa yang kepikiran untuk membeli kotak berisi kombinasi lilin wangi atau teh dengan aroma berbagai macam bunga. Ada si ada tapi pasti bisa dihitung dengan jari. Di sini, menghias rumah memang sudah jadi gaya hidup. Jadi barang-barang seperti inipun mudah terjual.

Hal yang menarik lain dari giftshop di Amerika secara umum adalah  barang-barang tidak pentingpun dapat dijual. Siapa sangka batu-bara dalam karung goni kecil bisa dijual, atau batu magnet mau dibeli orang. Setelah saya perhatikan sebenarnya ada dua kuncinya. Yang pertama adalah barang itu harus punya cerita. Misalnya batu-batu yang dijual di Grand Canyon. Batunya si tidak begitu penting, tapi karena mereka mengembangkan cerita dari batu-batu itu, bahwa batu jenis itu khas dari daerah Grand Canyon itu, atau punya mitologi apalah, maka jadilah batu-batu itu suvenir yang diminati. Kunci kedua adalah kemasan, baik fisik maupun mental. Siapa sangka benih-benih tanaman sayur mau dibeli orang dengan harga yang lumayan. Namun karena dikumpulkan, dimasukkan dalam kotak-kotak kaleng kecil, dan diberi pita, maka naiklah harga si benih sayuran ini. Wah.. ide-ide marketingnya memang hebat sekali. Sementara, kemasan mental maksudnya juga terkait dengan keharusan suvenir itu punya cerita, di samping pengkondisian sehingga suatu barang dapat menjadi trademark atraksi tertentu. Misalnya kalau ke NYC harus beli kaos I love New York, atau harus ada lambang patung libertynya kalau mau beli suvenir dari liberty Island, kira-kira seperti itu...

Saya menjadi tertarik dengan hal ini karena saya dan kakak punya impian merintis toko souvenir kecil-kecilan di kota Banda Aceh yang tidak seberapa itu, he... Oleh karena itu saya ditugaskan untuk meneliti ide-ide barang yang bisa dijual sebagai suvenir. Well kami kebanyakan memang bermain di desain grafis dan masih berbasis self-production, artinya semua barang yang dijual, kita produksi sendiri, bukan beli dari mana-mana lalu di jual kembali. Masalah utamanya dengan sistem ini adalah sulitnya mencari pengrajin,atau produsen yang bisa menyelengarakan desain kami. Selalu berputar-putar di masalah situ.

Tapi paling tidak poin untuk mengemas dan memasukkan unsur cerita dalam desain telah kami jadikan salah satu konsep utama. Tak jarang kami research kecil-kecilan untuk suatu desain. Misalnya untuk desain kaos tentang tarian aceh, pakaiannya, motif, perlengkapannya kami cari tahu dulu, secara cerita dilihat asal tariannya, dsb. informasi sederhana namun menarik berpotensi sekali untuk dijual...budaya kita yang kaya masa kalah dengan batu...he....

Sekian dulu bahasan saya tentang giftshop ini, mudah-mudahan mimpi saya dan kakak tentang membuat toko souvenir beberapa tahun lagi terwujud, dan berhasil. Tidak hanya tentang profitnya tapi bagaimana juga bisa dapat melestarikan budaya yang kita punya....
Ini gift shop di American History Museum,saya sedang mencoba salah satu suvenirnya yaitu topi yang modelnya merupakan gaya topi para orang-orang inggris yang datang pertama kali amerika. See... apapun bisa dijual kalau punya cerita
OWG Gift shop, suvenir asli OWG
Kid stuff, semuanya adalah barang yang dibeli dari produsen lain
OWG Gift shop kecil tapi keren.

Thanksgiving Parade

Hari ini saya nonton thanksgiving parade di NYC. Berbeda dengan Halloween Parade yang nuansanya lebih  untuk orang dewasa, Thanksgiving Parade ini lebih ditujukan untuk rekreasi keluarga, karena memang yang ditampilkan kebanyakan adalah tokoh kartun anak-anak. Di Parade ini dengan mudah ditemukan anak-anak yang bersorak sorai setiap tokoh kartun yang mereka kenal lewat. Bapak-bapak yang meletakkan anak-anaknya di pundak agar sang anak bisa melihat lebih jelas paradenya atau dengan hebohnya satu keluarga dengan troli bayi dan berbagai macam perlengkapan mondar-mandir mencari tempat yang strategis untuk melihat parade. Walaupun udaranya dingin, dan anak-anak harus dibalut dengan beberapa lapis sweater, tidak menyurutkan keluarga-keluara di sini untuk menonton parade, bahkan ada yang khusus bawa tangga agar dapat melihat parade dengan jelas di tengah kerumunan penonton.

Sayangnya saya datang kurang cepat jadi tidak bisa berdiri di depan, kalau di Indonesia sudah saya terobos saja kerumunan ini, he... berhubung bukan negeri saya jadi agak sungkan gitu. ha.. But cukup puaslah, apalagi atraksi utamanya adalah float balloon, jadi tinggal lihat ke atas, dan mereka semua ada di sana, tidak perlu berdiri paling depan juga. Atau memang itu ide dari paradenya, dari sudut manapun ditonton akan sama karena atraksinya ada di atas.

Dalam obrolan kemana-mana via skype dengan kakak saya, kami membahas perbedaan parade di Amerika dengan di Indonesia. Di Indonesia, kita punya banyak budaya lokal yang bisa ditampilkan dalam pawai kita, dari berbagai macam baju daerah, kesenian daerah dari sabang sampai merauke. Kalau di sini budaya globalnya kental sekali, tokoh-tokoh kartun globallah yang jadi pahlawan utama dalam parade. ini. Kalau dipikir-pikir betapa beruntungnya kita orang Indonesia yang punya kekayaan budaya tiada tara yang bisa kita nikmati. Memikirkan hal ini membuat saya tambah bangga dengan Indonesia, walau terkadang sedih juga karena walaupun kaya, terkadang kita tidak bisa menjual dan mengelolanya dengan baik. Kayak kata Cinta dalam film AADC " kita baru sadar pentingnya sesuatu ketika sesuatu itu hilang. Dan mudah-mudahan, tidak perlu hilang dulu, sampai kita sadar kayanya budaya kita... Loh...loh kok jadi ngomongin budaya Indonesia ini?? he... Just my random thought... But for sure one more time I love Indonesia....

Oh ya btw saya mau cerita sedikit tentang sejarah thanksgiving. Sebenarnya thanksgiving itu acara yang dibuat untuk bersyukur pada Tuhan untuk semua anugerah yang telah di dapat. Sejarahnya Pas orang-orang inggris tiba di dataran amerika, orang-orang native indian datang membawa makanan-makan untuk dimakan bersama dengan orang-orang inggris ini sebagai penerimaan dan rasa terima kasih pada Tuhan atas keselamatan yang telah diberi. Jadi memang thanksgiving ini adalah eventnya orang amerika, bukan suatu agama tertentu.

Tidak berlama-lama lagi mari nonton thanksgiving parade lewat galeri foto saya....
Ini adalah beberapa float, kendaraan hias, marching band yang ambil bagian dalam parade ini....





























randomly dua foto ini adalah foto kakek nenek yang ada di samping saya waktu nonton parade. Sebagai rasa cinta pada dua cucunya, mereka rela secara bergantian membopong dua cucunya di pundak mereka. Bisa dipastikan keduanya tidak nonton paradenya karena harus menahan beban cucunya, asal cucu senang, kakek nenek juga senang... Hiks....
kerumunan bubar habis nonton pawai, wow.... ramai sekali yang menonton
Thats All laporan saya....