Thursday 1 May 2014

Watching Buble: Kota Tempat Kita Tinggal

Semalam nonton Buble Concert di Rod Laver Arena. Buble adalah penyanyi idola saya waktu SMA, waktu itu saya tak ingin sama dengan teman-teman lain yang suka pop atau rock, jadi saya pilih Buble, penyanyi jazz, swing atau apalah namanya itu. Tapi seiring berjalannya waktu, lagu-lagu si Buble ini jadi kebanyakan popnya, sehingga saya pun akhirnya jadi biasa-biasa saja musik Buble. Walaupun demikian dari dulu saya memang bermimpi nonton konsernya. Ingin merasakan pengalaman nonton konser penyanyi yang pernah jadi idola saya ini. Waktu magang di NY dulu, kebetulan konser si Buble diselenggarakan di awal-awal waktu kedatangan saya sehingga saya masih belum percaya diri untuk menjelajah kota untuk mencari tempat konsernya. Jadi saya memutuskan untuk tidak menonton. Di sini, saya pikir, ini kesempatan kedua yang tak boleh disia-siakan jadi sayapun akhirnya memutuskan untuk menonton. Proses mendapatkan tiketnya pun lucu. Seperti biasa, saya sangat tidak suka membuat keputusan dari jauh-jauh hari, sedangkan biasanya tiket konser itu dijual jauh-jauh hari bahkan lebih dari tiga bulan sebelumnya. Karena menunda membeli, akhirnya saya kehabisan tiket ketika saya yakin akan menonton. Namun beruntungnya setelah cari-cari di gumtree (situs australia untuk jual beli) di dekat-dekat hari H, akhirnya saya dapat juga tiket dari orang yang batal nonton konser ini..

 
Penampilan si Buble bagus, menghibur, dan bisa dibilang spektakular, tapi yang lebih menarik bagi saya adalah penyelenggaraan konser itu sendiri. Siangnya sebelum menonton konser, dosen tamu di kelas teori kontemporer lanskap memberi kuliah tentang Urbanism di Asia. Dia membandingkan kota kelahirannya, Bangkok dan kota tempat tinggalnya sekarang, Melbourne tentang bagaimana kedua kota ini dijalankan. Menurutnya, Melbourne ini adalah kota 'livable city' yang dicitrakan dari top down. Seumpama tarian, kota ini dan orang-orangnya telah dikoreografikan dari awal. Pergerakan, program, atraksi, semua telah diatur dengan cermat, dan warganya dipersilakan untuk menjadi bagian di dalamnya untuk sama-sama menikmati 'livable city' ini. Sedangkan Bangkok adalah 'lived city' (kota dimana orang hidup), sangat organik. Dengan pendekatan bottom-up, sektor-sektor informal menjadi penyokong utama kehidupan. Masyarakatnya bergerilya secara kreatif mengusahakan Bangkok sebagai tempat tinggalnya sehingga kota ini menjadi sangat dinamik dan vibran. Si dosen memberi contoh seperti pedagang jajanan kaki lima Bangkok yang bisa memuat set restoran lengkap dengan 10 meja dan bangku serta dapur hanya dalam satu gerobak sorong.Saya pikir kota besar di Indonesia kurang lebih juga sama dengan pola Bangkok ini.


Kedua kota jelas berbeda satu adalah tarian balet yang punya gerakan indah terkoreografi sejak awal dan satu adalah tarian 'trance' yang sangat dinamik. Hal yang menarik adalah ketika pertanyaan muncul ke permukaan yang mana yang lebih baik? Sesuai kata teman saya, orang di sini tidak suka sesuatu yang netral, mereka suka kita berpihak dan dosen tamu yang seorang Asia itu, walau dengan bahasa yang sangat diplomatis bilang bahwa agaknya pola urbanism di Asia, dalam hal ini Bangkok lebih baik karena spirit enterpreunal yang dipunyai orang di kota-kota Asia akan membuat kota itu bertahan. Sekarang banyak di Eropa dan Amerika utara mulai mati, dan malah mulai melihat pola-pola perkembangan kota di Asia. Seperti sebuah tari bila tiba-tiba koreografernya mati, tarinya juga selesai. Entahlah.

Hubungannya dengan konser si Buble, adalah konser-konser, segala festival, atraksi, gaya hidup di Melbourne ini adalah bentuk dari koreografi itu sendiri. Semuanya telah sangat rapi diatur. Contoh konkretnya, awalnya saya takut desak-desakan masuk ke tempat konser seperti di Indonesia, tapi ternyata koreografi telah membuat gaya hidup Melbournian mengerti untuk mengantri dan mesin pembaca barcode dengan cepat mempersilakan masuk penonton satu persatu. Awalnya saya kira akan banyak bangku kosong karena pastinya banyak calo yang gagal menjual tiket atau lebih parah lagi ada perkelahian karena nomor bangku yang sama, tapi ternyata semua bangku terisi penuh satu-satu. Awalnya saya takut akan menunggu lama datangnya tram ketika pulang karena sudah larut, tapi ternyata ada seorang dari pihak tram siaga berkoordinasi memanggil tram kosong untuk mengangkut orang-orang kembali ke kota tepat setelah acara selesai. 

Kembali ke pertanyaan tadi, jadi pola urban yang mana yang lebih baik? kenyamanan di kota ini mungkin telah membuat saya berpikir dua kali untuk berpihak pada si dosen tamu, dan bilang mungkin koreografi tari Melbourne lebih baik. Tapi sebagai orang Asia yang tulen saya akan bilang, saya rasa kedua-duanya baik, atau setidaknya agar lebih baik, ambil yang baik-baiknya saja dari keduanya, dan buang yang tidak baik. Maka kita akan punya kota hybrid yang baik. What??he...he..



NB: Tapi satu hal yang saya agak kecewa dengan kota ini dan membuat saya membandingkannya kembali dengan kota saya. Ketika pulang konser pukul sebelas malam, perut saya keroncongan dan mencoba mencari penjual makanan, atau restoran yang masih buka di kota. Ternyata hasilnya nihil, yang buka hanya restoran cepat saji dan itu pun satu-satu. Kalau dibandingkan kota saya, saya tinggal jalan beberapa meter dan akan menemukan penjual makanan. Apapun ada. Nasi Goreng, Mie Goreng, Martabak, atau sekedar cemilan. God, I am missing home

And I’m surrounded by
A million people I
Still feel alone
And let me go home
Oh, I miss you, you know ...

Home, Michael Buble

No comments:

Post a Comment