Saturday, 31 August 2013

Melbourne Writer Festival, Shaun Tan

Saat tersesat dalam penat alam pikir merumuskan bentuk lain surealisme yang berwujud edukasi (a.k.a. assignments), sore tadi saya datang ke salah satu acara Melbourne Writer Festival, yaitu talkshow yang berjudul In Studio with Shaun Tan. Shaun Tan adalah ilustrator, seniman, Australia, salah satu bukunya yang terkenal adalah The Arrival, saya sarankan untuk dibaca, luar biasa, dibuat tanpa kata.

Saat pertama kali menikmati The Arrival, saya tidak mengerti jalan ceritanya, karena memang dibaca sepintas lalu dan memang tak ada satu katapun disana, semuanya dalam gambar. Namun, kedua kalinya saya membaca (gambarnya) saya mengerti dan terkesan dengan setiap detil dan imajinasinya.

Poin menarik yang saya dapatkan dalam talk show tadi dari jawaban Shaun Tan dari seorang penanya adalah "Bahwa Konsistensi dalam berkarya itu menurutnya berbahaya". Konsistensi dalam gaya berkarya, material yang digunakan, aliran, dsb. Karena ketika telah sangat nyaman dengan sesuatu, kita akan cenderung berhenti kreatif, berhenti mencoba hal-hal yang baru. Istilahnya "Imitating ourself". Berkaca dengan diri sendiri, saya merasa juga telah melegitimasikan konsistensi sebagai suatu bentuk dalam membentuk karakter gambar-gambar saya. terjebak dalam zona aman, dan meniru diri sendiri lagi dan lagi, dan berakhir dengan berhenti mencoba hal-hal baru. Ah, bingung juga, kalau tak punya jiwa petualang..

Cover terbaru buku Om Shaun yang akan terbit oktober
Lambang Melbourne Writer Festivalnya lucu
Talk Show si Oom Shaun
Dapat tanda tangan si Oom
Beberapa buku Shaun Tan
View dari Fed Square, menjelang malam

Alam Tidak Nyata

Antara biru dan abu-abu

Saya akan bernyanyi tentang kisah yang berwarna abu-abu
Suatu hari, saya meminjam langit sebagai warna pastel kesukaan
Tapi air mineral yang coba saya minum tertumpah dan kertas saya menjadi abu-abu
Dari pada sedih tidak berpastel langit maka saya bernyanyi
Biru...
Biru...
Biru...
Abu...
Abu...
Abu...
...........................................................................................................
Bisu

Ia tidak berbicara, ia ingin, tapi ia tak bisa
Ia tak bisu, ia tak bisa
............................................................................................................
Racun manis, Madu pahit

Dalam pikirannya, ia menelan begitu banyak racun
Racun itu berupa madu-madu manis dalam stoples milik orang lain
............................................................................................................
Sang katak belajar berdagang.

Harga diri seekor katak sedang dipertaruhkan
Setelah hujan semalam, secara tak sengaja ia membual bahwa ia bisa terbang
Teman-temannya tentu tak percaya
Maka ditantanglah ia untuk terbang sore nanti
Melompat dari ujung jurang di ujung hutan
Di dalam rumahnya yang gelap, sang katak sedang menimbang-nimbang
Berapa harga yang pantas itu?
.............................................................................................................
Siapa yang salah?

Ibu, mengapa saya tak bisa terbang?
tanya seekor cacing.
..............................................................................................................
Bagaimana tetangga saya menikmati hidup.

Suatu pagi saya keluar rumah...
Seorang tetangga, dari balik jendela berkata, nikmati hari ini! cerah! berlimpah cahaya!
Siangnya saya basah kuyup berlari menuju rumah karena tiba-tiba hujan lebat turun tak berperingatan.
Tetangga itu, dari balik jendela berkata, nikmati hari hujan ini! bersantai! di rumah! minum teh! nonton TV!
Sorenya hujan reda dan saya harus keluar rumah membeli kopi yang persediaannya sudah habis, padahal sedang sangat malas keluar, teranja dengan sofa dan teh hangat sehabis hujan
Ketika mengunci pintu rumah, tetangga yang sama berkata, nikmati sore ini! udaranya segar! bebas polusi!
Sepulangnya di kala malam, tiba-tiba lampu di komplek kami mati, padahal ada film yang harus saya tonton.
Dari seberang jalan, sayup-sayup saya dengar. Nikmati malam gelap ini! cuci kaki! gosok gigi! tarik selimut! berangkat ke negeri mimpi!
...............................................................................................................
Gelang emas dalam tong sampah

Setiap benda harus diletakkan pada tempat yang benar
Jangan letakkan pensil di dalam kulkas
Buah apel di dalam mesin cuci
atau kaus kaki dalam bak mandi
Setiap benda harus diletakkan pada tempat yang benar
...............................................................................................................
Bisu 2

Ia hanya tahu tiga kata
Ia tak banyak bicara
...............................................................................................................
Kita (Pemilik kepala dan makhluk-makhluk yang sedang sibuk di dalam kepala)

Kata-kata hilang dalam ruang-ruang gelap di balik kepala
Di mana makhluk-makhluk kecil sedang sibuk buka tutup laci mencari sesuatu
Mereka kasihan pada pemilik kepala yang gagu dan ragu
Mereka, makhluk-makhluk kecil ini, telah lelah tapi tetap membongkar ruah semua isi laci
Mereka mencari berkas yang tepat yang diharapkan pemilik kepala
Mereka sangat sayang dengan pemilik kepala

Wednesday, 21 August 2013

Bintang-bintang

"Setiap malam, sembari mendengar dongeng ibu, kami menatap bintang-bintang dari celah loteng kamar tidur kami"

Really Dark This Time





Luna Winter Night Market dan Secuil kisah Galau

Setelah seminggu bergelisah ria dengan tugas-tugas pertama, akhirnya malam ini saya bisa sedikit bernafas lega. Dalam presentasi informal dan diskusi dalam tutorial tadi sore, saya baru sadar, bahwa ternyata murid lain juga menghadapi tantangan yang sama beratnya dengan saya, selama ini saya berfikir bahwa saya orang yang paling dodol di kelas, dan ternyata semua orang dalam track yang sama. Dodol. 

Dalam perbincangan via skype dengan kakak saya (kebanyakan berisi keluh kesah) kami menemukan beberapa kata kunci dalam kegalauan parah saya menghadapi kuliah di UniMelb ini, pertama adalah ikhlas yang kedua adalah sabar. Ikhlas dalam menjalani ini semua, dan sabar untuk setiap prosesnya. Ya, terkadang saya memang tidak sabar, saya ingin yang terbaik, tapi saya tidak sabar, dan tidak tahu caranya. Jurang ini akhirnya membuat galau gelisah yang gempita ini terus menggerogoti kepercayaan diri yang tersisa.

Malam tadi juga ada pertemuan Aus-Aid dan saya bertemu dengan teman-teman lainnya. lagi-lagi saya terasa terhibur dengan kisah galau teman-teman lain tentang studinya. Bukannya apa-apa, saya merasa bahagia untuk diri saya sendiri, karena ini berarti saya 'normal'. Tapi tentulah hal ini bukan hal yang baik untuk terus diamini, keseimbangan antara sadar dan bergerak maju harus terus diupayakan. Saya jadi ingat waktu kuliah S1 dulu, ketika tugas menumpuk dan menunggu untuk dikerjakan. Kalau sudah begini, cara yang paling baik untuk melipur hati adalah dengan mencari sahabat yang senasib "Gue belom siap tugas loh, lu gimana?" kalau ada jawaban "sama! gue juga belom" maka tenanglah hati, tentramlah jiwa (sedikit).

Pada akhirnya, berbicara tentang kegalauan ada satu hal yang perlu kita percayai, bahwa diri kita tak akan mengecewakan kita (kakak saya, 2013) dan ternyata hal ini memang benar. Beri diri kita waktu, ia berproses dengan caranya sendiri, terkadang kita tak sabar dan memaksakan kehendak, dan galau itu akan mengambil keuntungan dari konflik ini. Berdamailah, dengan diri kita sendiri, ajak ia bicara biar saling mengerti, dan semuanya akan baik-baik saja.

Terakhir untuk menghibur diri dan memberikan reward kepada diri saya karena telah menyelesaikan salah satu tugas, saya ikut teman-teman indonesia saya ke Luna Winter Night Market, festival makanan, musik, seni, dan sebagainya. 

pasar disulap jadi area buat acara
music stage
silent disco (interesting)
satu dari food stall yang unik
Grup tanjidor dan ondel-ondel versi Melbourne
One man band

suka interiornya yang dibuat dari kayu bekas packaging barang


Finally try the silent disco, quiet happy.....

Ciao

Friday, 9 August 2013

Rapa'i Geleng Chapter Melbourne


Beberapa hari lalu saya datang ke sebuah acara yang menarik, yaitu acara pertemuan AIYA (Australian Indonesian Youth Association), menarik karena program untuk hari itu adalah Rapa'i Geleng workshop (salah satu tarian tradisional aceh yang berciri khas gerakan aktif kepala dan permaianan tabuhan rapa'i (rebana khas aceh). Saya dari dulu ingin belajar tarian ini, hanya saja selalu tertunda dan diri saya walaupun ingin tapi memberi beribu alasan untuk menunda. Sangat tipikal.

Acaranya berlokasi di Melbourne Cultural Hub. Saya tiba agak telat dan para pesertanya telah belajar beberapa gerakan. Terus terang saya kaget karena kebanyakan yang peserta tarinya adalah para Bule hanya dua orang indonesianya, dan satu malahan orang Jepang. Lebih kaget lagi ketika mendengar yang nyanyi lagunya adalah Bule, saya senyum-senyum sendiri ketika ia menyanyikan shalawat badar, dan lagu berbahasa Aceh lainnya.

Pendapat orang tentang hal ini mungkin berbeda-beda, tapi bagi saya pribadi saya kagum dan sekaligus bangga. Dan saya tidak keberatan oleh siapun yang menarikannya. Dahulu saya memang menjadi bagian kelompok yang berpendapat bahwa tarian tradisional itu harus memegang teguh setiap aturan yang ada. Dulu saya agak risih dengan tarian-tarian kreasi dan tarian tradisional yang ditarikan dengan 'tidak tradisional', sesederhana kesalahan pengucapan dalam nyanyian atau modifikasi kostum penarinya. Tapi suatu ketika suatu ketika saya menonton sebuah acara di televisi tentang pelestarian warisan budaya. Pembicaranya ketika itu membahas tentang cara melestarikan budaya. Salah satunya adalah terus berkreasi, modifikasi, kolaborasi dengannya. Seperti halnya bagaimana ragam hias indonesia bisa diangkat dalam seni desain grafis modern, atau lagu daerah yang dicobabawakan jazz. Tarian juga serupa untuk menjaminnya tetap hidup, ia harus aktif, bergerak, terus difikirkan, terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Dan ternyata memanga benar, ketika bahakan orang luar indonesia juga turut mengaktifkan kebudayaan kita, ia akan tetap ada. Ironisnya saya malah jarang menemukan kelompok-kelompok tari akar rumput di daerah saya sendiri. Sebagai contohnya saja saya belajar menari saman ketika di bogor, dan belajar rapai geleng ketika berada di Melbourne, dengan syekh seorang Bule.

Ada lagi hal miris lainnya, pada pertemuan kemarin orang indonsianya terlihat sedikit kurang antusias untuk belajar tarian ini, malah bule nya yang bersemangat walau harus menahan sakit karena tidak biasa duduk bersimpuh. Jadi agak lucu juga kalau kita ribut-ribut soal budaya kita yang dicuri sedang kita acuh tak acuh kepadanya.

By the way, workshop rapai geleng ini cukup menyenangkan, mudah-mudahan saya diajak lagi kapan-kapan...