Friday, 9 August 2013
Rapa'i Geleng Chapter Melbourne
Beberapa hari lalu saya datang ke sebuah acara yang menarik, yaitu acara pertemuan AIYA (Australian Indonesian Youth Association), menarik karena program untuk hari itu adalah Rapa'i Geleng workshop (salah satu tarian tradisional aceh yang berciri khas gerakan aktif kepala dan permaianan tabuhan rapa'i (rebana khas aceh). Saya dari dulu ingin belajar tarian ini, hanya saja selalu tertunda dan diri saya walaupun ingin tapi memberi beribu alasan untuk menunda. Sangat tipikal.
Acaranya berlokasi di Melbourne Cultural Hub. Saya tiba agak telat dan para pesertanya telah belajar beberapa gerakan. Terus terang saya kaget karena kebanyakan yang peserta tarinya adalah para Bule hanya dua orang indonesianya, dan satu malahan orang Jepang. Lebih kaget lagi ketika mendengar yang nyanyi lagunya adalah Bule, saya senyum-senyum sendiri ketika ia menyanyikan shalawat badar, dan lagu berbahasa Aceh lainnya.
Pendapat orang tentang hal ini mungkin berbeda-beda, tapi bagi saya pribadi saya kagum dan sekaligus bangga. Dan saya tidak keberatan oleh siapun yang menarikannya. Dahulu saya memang menjadi bagian kelompok yang berpendapat bahwa tarian tradisional itu harus memegang teguh setiap aturan yang ada. Dulu saya agak risih dengan tarian-tarian kreasi dan tarian tradisional yang ditarikan dengan 'tidak tradisional', sesederhana kesalahan pengucapan dalam nyanyian atau modifikasi kostum penarinya. Tapi suatu ketika suatu ketika saya menonton sebuah acara di televisi tentang pelestarian warisan budaya. Pembicaranya ketika itu membahas tentang cara melestarikan budaya. Salah satunya adalah terus berkreasi, modifikasi, kolaborasi dengannya. Seperti halnya bagaimana ragam hias indonesia bisa diangkat dalam seni desain grafis modern, atau lagu daerah yang dicobabawakan jazz. Tarian juga serupa untuk menjaminnya tetap hidup, ia harus aktif, bergerak, terus difikirkan, terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dan ternyata memanga benar, ketika bahakan orang luar indonesia juga turut mengaktifkan kebudayaan kita, ia akan tetap ada. Ironisnya saya malah jarang menemukan kelompok-kelompok tari akar rumput di daerah saya sendiri. Sebagai contohnya saja saya belajar menari saman ketika di bogor, dan belajar rapai geleng ketika berada di Melbourne, dengan syekh seorang Bule.
Ada lagi hal miris lainnya, pada pertemuan kemarin orang indonsianya terlihat sedikit kurang antusias untuk belajar tarian ini, malah bule nya yang bersemangat walau harus menahan sakit karena tidak biasa duduk bersimpuh. Jadi agak lucu juga kalau kita ribut-ribut soal budaya kita yang dicuri sedang kita acuh tak acuh kepadanya.
By the way, workshop rapai geleng ini cukup menyenangkan, mudah-mudahan saya diajak lagi kapan-kapan...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment