Pembicaraan kami sore itu diselingi oleh suara nyaring
seekor siamang. Di samping Bivak Emperom, markas Komunitas Kanot Bu yang
digawangi Idrus bin Harun ini, memang terdapat penangkaran badan konservasi sumberdaya
alam, tempat penampungan dan rehabilitasi hewan-hewan liar yang disita dari
masyarakat. Menurutnya Idrus, suara-suara hewan itu selalu menjadi bagian
keseharian di markasnya. “Siamang itu mungkin ingin ikut berbincang juga
bersama kita dari balik jerujinya”, kami berkelakar.
TRAUMA MASA KECIL//MENJADI GURU// CARA
Pada suatu titik pembicaraan sampailah kami pada cerita masa
kecil. Ketika duduk di SD dulu dulu ia mengaku selalu merasa ketakutan
jika ditunjuk tiba-tiba oleh gurunya untuk menjawab sesuatu. “Kamu!” ia
menirukan perintah itu dengan telunjuk diarahkan pada saya.
Bincang bergulir tentang masa lalunya ketika matematika
selalu menjadi pelajaran yang dirajakan saat guru berbicara tentang kesuksesan.
Jarang ada guru seni yang mumpuni di sekolah-sekolah. Sedang seni tidak masuk
dalam UAN, sehingga dianggap tak mengapa bila jam pelajaran seni dikorupsi
untuk matematika. “Saya rasa itu sebabnya ketika dewasa, banyak dari kita
menjadi orang yang kaku”. ungkapnya
Suatu ketika yang lain, Idrus dipercaya kepala sekolahnya untuk mempersiapkan murid-murid mengikuti lomba
teater. Ini adalah pertama kalinya mereka ikut lomba dan pertama kalinya Idrus melatih teater. Ia mengenang, kala itu, ada seorang anak yang bergabung dalam kelompok teaternya. Anak ini dianggap batat (nakal) di sekolahnya, bahkan ia
mendengar bahwa sang anak sampai pernah dikurung di dalam lemari oleh gurunya
saking dianggap batat.
Namun tak disangka, ternyata ia berbakat dalam seni peran. Didaulat memerankankan tokoh raja, sang anak berhasil memukau banyak orang dengan wibawa dan bijaksana tingkah tuturnya saat berperan. Sekolah mereka menang juara dua dalam lomba itu. Seketika, anggapan seisi sekolah berubah total pada si anak tadi. Kemampuannya bermain peran telah
memberi perspektif baru orang-orang di sekitarnya terhadap kemampuannya.
Bagi saya, ini adalah tentang cara dan kesadaran bahwa kita
tak mungkin seragam.
KOTA//PIKNIK//TAK LANTAS
MENJADI KALAH
Mungkin orang kita kurang piknik. Tapi banyak taman kota. Tapi
tamannya berpagar dan digembok, takut ada yang mesum. Dahulu orang-orang
berteriak bahwa kita butuh banyak ruang terbuka hijau. Sekarang setelah sudah
banyak taman kota mau protes apa lagi.Tak relevan lagi.
Kami berbincang tentang cara kita melihat masalah di kota
ini. Saya sebagai orang yang suka taman, melihat pendekatan memagar gembok
taman publik adalah langkah praktis namun kurang kreatif untuk apapun
alasannya. Jika takut orang-orang berbuat mesum, pasang lampu banyak-banyak, buat
desain taman yang terbuka hingga semuanya mudah dipantau, jangan lantas kalah
pada keadaan dan langsung ditutup aksesnya. Kasihan karena prasangka mesum, akhirnya semua orang tak bisa menikmati taman.
Idrus juga berpendapat sama dalam kasus seni rupa di Aceh.
Dalam diam agaknya kita masih punya pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan seni
rupa dan islam. Namun artinya tidak serta merta seni rupa itu harus jadi tumbal
dan mati. Ia memberi contoh dalam seni instalasi. Di luar, mungkin perupa tak
punya batasan untuk eksplorasi tema apapun (termasuk rupa makhluk) dalam karyanya. Namun bukan
berarti seni instalasi harus mati karena alasan ini. Masih banyak tema-tema
lain yang bisa diangkat dengan cerdas tanpa harus
mengorbankan nilai dan kepercayaan lokal. Sejurus, Idrus bilang ia punya ide
untuk meletakkan koper uang raksasa di suatu ruang publik tengah kota. Orang-orang
boleh selfie, boleh mikir.
KOMUNITAS// BIENALLE //TANTANGAN
Selanjutnya pembicaraan bergulir pada realita
komunitas-komunitas yang ada di Aceh. Saya adalah seorang yang percaya dengan pendekatan kolaborasi, Idrus pun demikian. Tapi tak dapat dipungkiri memang,
kenyataannya sekarang semua bekerja sendiri-sendiri. Tak hanya bidang seni, semua
lini kehidupan kita kini menghadapi masalah ini. Entah karena ego atau
kepentingan, tantangan kerjasama selalu pelik. Sementara itu, rasa saling
percaya juga menjadi krisis yang makin lama makin parah. Ada udang di balik batu, jangan-jangan nanti udang melempar batu.
Banyak sekali tantangan jika ingin didaftar satu per satu terkait
perkembangan masyarakat dan kota. Tapi menjadi tidak substansial jika
masalah-masalah ini hanya dibicarakan dan hanya menjadi wacana-wacana pinggran
saja. Berpasrah ada tempatnya, kali ini adalah untuk bergerak berbuat. Perang
kita sekarang bukan hanya melawan ketidakdilan di luar sana, tetapi perang
melawan kemalasan dan ketidakpedulian diri sediri atas usaha menjaga konsistensi
kepemilikan niat-niat baik serta bebas pretensi dan usaha untuk menjadi
pribadi yang lebih punya makna. Begitulah saya menyimpulkan panjang lebar
pembicaraan kami.
Ke depan, belajar dari keikutsertaan Idrus dalam Jakarta
Bienalle tahun lalu, Idrus bersama teman-teman lainnya ingin menggagas Kutaraja
Bienalle. Menggebrak semua paradigma lama tentang berkesenian di Aceh lewat
ruang-ruang kota. Usaha untuk membentang sebanyak-banyaknya tikar piknik di
kota. Mengajak orang-orang keluar rumah, berinteraksi dengan alam kota dan
manusianya. Karena seperti di dalam piknik, ini tak hanya soal menyantap
makanan dengan dikelilingi suasana yang berbeda, tetapi juga juga tentang saat-saat
berharga ketika keluarga saling bicara dan berbagi cinta.
Note: Tulisan ini adalah catatan kecil dari percakapan dengan seorang seniman Aceh. Idrus bin Harun. Kini ia tergabung dalam komunitas kanot bu yang bermarkas di jalan Cut Nyak Dhien, Lamteumen. Sp. Dodik. Blognya dapat dilihat di http://idrusbinharun.blogspot.co.id/ sementara
karyanya dapat dilihat di halaman facebook idrus bin harun atau komunitas kanot bu.