Saturday 27 July 2013

Memori yang Kita Hidup di Dalamnya


"Sepulang sekolah ibu telah menunggu kami di pintu kecil belakang sekolah. Lalu bersama kami menyusuri jalan belakang sekolah menuju rumah. Seperti biasanya kami minta dibuatkan oleh ibu bando dari bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan. Aku memetik bunga liar untuk bandoku. Aku bahagia karena kupikir, aku dan adikku sangatlah beruntung, karena ibu mungkin satu-satunya ibu di dunia yang bisa merangkai bunga liar pinggir jalan menjadi bando yang indah"

Ini adalah gambar memori kedua kakak saya ketika mereka TK, jelas saya belum lahir ketika ini, tapi saya tahu kejadian ini karena cerita kakak saya dan pengalaman saya sendiri yang selalu lewat jalan belakang TK untuk pulang ke rumah bersama ibu. Ketika menggambar banyak detail yang saya tidak ingat dan berakhir dengan improvisasi. Memori saya tidak begitu kuat untuk menangkap setiap detailnya, tapi tetap mampu untuk merekam suasana ketika itu.

Belakangan ini, pemikiran tentang memori kerap berkelebat dalam kepala saya. Film yang saya tonton, grafis yang saya lihat, buku yang saya baca, atau sekedar perbincangan acak dengan kakak saya banyak bersinggungan dengan topik ini. Entah mengapa akhir-akhir ini kilas-kilas masa kecil saya sering numpang lewat dan menyumbangkan seulas senyum. Entahlah.....

Awalnya saya mempunyai teori saya sendiri dengan memori. Menurut teori itu, manusia memiliki rentang waktu tertentu untuk ingatannya. Mungkin rentang itu dua puluh tahun, karena sekarang kenangan-kenangan yang saya ingat adalah masa-masa ketika saya masih duduk di bangku TK dan awal-awal masa SD. Ketika kita bertambah tua, batas itu terus maju sesuai dengan umur. Asumsi ini saya buat karena melihat orang-orang yang telah tua selalu bercerita tentang masa mudanya, mungkin ketika ia berumur 20-30 an.

Tapi menurut kakak saya teorinya bukan seperti itu, memori yang berkesan, akan terus berbekas, bahkan ketika kita sudah tua, kenangan ketika kecil masih mungkin kita ingat, asal itu mempunyai nilai yang sangat kuat dalam diri kita. Mungkin penjelasan lebih masuk akal.

Di suatu titik saya takut menjadi tua dan lupa. Keluarga kami tak punya rekaman apa-apa yang terjadi ketika kami masih kecil. Album-album foto kami dilunturkan oleh tsunami 2004 lalu. Jadi yang tersisa hanya ingatan-ingatan kami yang tak seberapa. Dan berbicara tentang foto, ia bekerja dengan cara berbeda dengan memori. Suatu kejadian tak perlu terlalu berkesan untuk dicetak di selembar kertas seperti halnya memori. Tapi foto seperti pintu masuk untuk memori-memori di masa lalu, yang mungkin terlupa karena terkadang tidak begitu berkesan pada saat itu, namun bisa jadi sangat berkesan saat ia dibuka kembali. Terkadang saya iri dengan orang-orang yang memiliki album foto masa kecil.

Memori pun bekerja dengan caranya sendiri. Dalam perbincangan dengan kakak, saya mendapati sesuatu yang menarik. Dalam bingkai masa lalu, sebuah kejadian yang sama, waktu yang sama, orang-orang di dalamnya bisa jadi memiliki memori yang berbeda. Bagian atau detail yang diingat bisa sangat beragam. Misalnya kakak saya ingat detail rumah kami di masa lalu, sedang saya tidak. Kakak mungkin mempunyai lebih banyak hubungan emosional dengan rumah lama kami, sedang dalam diri saya, itu hanya sekedar rumah tempat tinggal. Betapa misteriusnya hubungan kita dengan memori...

Pada awal saya tiba kota baru ini, saya mulai malas mengambil foto. Saya berfikir pengalaman akan lebih berharga dari pada foto-foto, sangat paradoks memang dengan kenyataan bahwa sekarang saya merindukan foto-foto masa kecil. Tapi akhir-akhir ini saya mulai mengambil foto lagi. Saya butuh mengambil foto-foto ini. Karena saya tidak pernah tahu apa yang saya ingat dan lupa ketika tua nanti. Dan mempunyai album adalah suatu jendela yang menjembatani memori dan hal-hal yang berkesan pada waktunya.

Titou

1 comment:

  1. setuju tou. foto bukanlah memori, tapi gerbang masuk ke memori itu sendiri :')

    ReplyDelete